Harumi


Aku mengayuh pelan di jalan setapak, diapit hamparan sawah yang hijau bagai samudra daratan. Angin membawa bau padi muda yang segar, dan di kursi belakang sepeda, duduklah Iliana, anakku.

Ia mengenakan topi kecil, duduk tenang, memeluk boneka mungilnya dengan erat. Kulihat matanya berbinar, menatap ke arah langit yang lembut kebiruan. Senyumnya membuatku merasa, seakan seluruh perjalanan hidup ini memang menuju ke satu tujuan sederhana: senyum itu.

Aku terdiam. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan ketika melihat anak sendiri menyatu dengan lanskap pedesaan yang sunyi. Iliana seperti sebaris puisi yang jatuh dari langit, menempel di dadaku, mengingatkanku bahwa kebahagiaan sejati seringkali hadir sesederhana ini, di atas sepeda, di jalanan kampung, dengan suara jangkrik yang mulai berani menyanyi sore-sore.

Dalam hatiku aku berbisik: Iliana, semoga dunia selalu ramah kepadamu. Semoga senyummu ini, yang hari ini membuat bapak terharu, tetap abadi meski waktu nanti akan berjalan jauh meninggalkan sore ini.

Aku mengayuh lagi, perlahan. Seakan tak ingin perjalanan ini selesai. Karena di atas sepedaku, dengan Iliana yang tertawa kecil sambil memainkan bonekanya, aku merasa sedang menuliskan bab paling indah dalam hidupku.