Aku menatap gelas kaca berisi cairan cokelat pekat di atas meja kerja. Busa tipis di permukaannya tampak seperti langit senja yang sebentar lagi padam. Di sebelahnya, laptop menyala dengan layar oranye menyilaukan, seolah sedang menertawakan betapa asingnya aku di antara angka, target, dan rapat-rapat yang tak ada habisnya.
Aku ingat tulisan di buku Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya. Betapa ganjil, ya? Seseorang ingin jadi pohon semangka, bukan mawar yang anggun atau pohon pinus yang megah. Tapi justru di situlah letak kejujurannya. Pohon semangka tumbuh rendah, merambat di tanah, buahnya membulat sederhana, dan ketika matang, ia menyerahkan dirinya habis-habisan untuk dinikmati. Ia hidup tanpa pretensi.
Aku menyeruput pelan, pahit yang menempel di lidah langsung menyentuh hatiku. Andai aku ditanya, seandainya terlahir kembali di kehidupan berikutnya, aku ingin jadi apa? Mungkin aku akan menjawab: aku ingin menjadi secangkir kopi hitam yang sederhana. Tidak seperti ubur-ubur yang bebas, atau pinus yang angkuh menjulang. Aku hanya ingin jadi kopi yang menemani seseorang bekerja larut malam, yang pahitnya diam-diam membuat orang merasa lebih kuat.
Seperti pohon semangka yang tak berusaha menjadi indah, kopi pun tak pernah pura-pura manis. Ia jujur apa adanya. Pahit, gelap, tapi hangat. Dan kadang, justru di situlah kebahagiaan kecil itu sembunyi.