Aku menengadah, lalu kutemukan surga di atas sana. Langit sore itu seperti papan tulis biru yang penuh coretan kapur putih. Awan-awan melayang tanpa pola, tapi entah mengapa justru terasa seperti puisi yang hanya bisa dibaca dengan hati.
Seseorang berkata, “Kalau kau resah, pandanglah langit. Ia guru yang sabar.” Aku tidak tahu bagaimana caranya langit bisa mengajari siapa pun, tapi sore ini aku mengerti maksudnya. Ada semacam ketenangan yang turun perlahan, seperti hujan yang menetes dari ketinggian, namun bukan air, melainkan doa.
Kupikir-pikir, barangkali awan-awan itu sebenarnya perahu. Mereka berlayar di lautan biru, membawa pesan yang tak pernah sampai ke bumi. Atau mungkin, awan-awan itu sekadar gumpalan takdir, menunggu waktu untuk runtuh menjadi hujan yang menyuburkan ladang-ladang
Ah, betapa kecilnya aku dibandingkan langit. Tapi justru di situlah letak keajaibannya. Aku boleh kecil, tapi bisa menatap sesuatu yang tak bertepi. Rasanya, seakan-akan aku tidak sendirian di dunia ini. Dan aku pun tersenyum.