Manahan Lagi


Aku pulang kerja pukul 19 dengan tubuh lelah, tapi begitu roda sepedaku menyentuh jalan Manahan, entah bagaimana rasa lelah itu lenyap. Jalan ini seperti memiliki rahasia kecil untuk menghibur siapa saja yang melintasinya. Pohon-pohon di kiri dan kanan, menjulang tua, berdiri seolah ingin melindungi siapa pun yang lewat. Aku selalu merasa mereka bukan sekadar pohon, melainkan guru-guru sabar yang mengajarkan arti keteguhan.

Lampu jalan mulai menyala, temaram jingga menyapa wajahku. Suaranya sunyi, tapi hatiku penuh. Aku merasa seperti bocah lagi, bersepeda pulang dari sekolah dengan seragam masih kusut dan kepala penuh mimpi. Trotoar bermotif lingkaran-lingkaran itu kulirik sebentar, ah, betapa indahnya. Seakan ada seniman yang diam-diam menggambar mimpi di lantai untuk pejalan kaki yang sering kali tidak sempat menoleh ke bawah.

Sepedaku melaju pelan. Angin sore menyusup lewat sela dedaunan, membawa aroma jalanan yang khas: sedikit debu, sedikit basah tanah, bercampur dengan harum samar pohon trembesi. Aku suka bagaimana semua itu berpadu, sederhana tapi jujur. Di jalan ini, aku merasa hidupku bukanlah deretan angka-angka di layar komputer kantor. Aku bagian dari sesuatu yang lebih luas, lebih puitis, meski tak selalu bisa kugambarkan dengan kata-kata.

Di kejauhan, kulihat lampu kendaraan berkelebat, seperti bintang jatuh yang salah tempat. Aku tersenyum kecil. Betapa indahnya pulang dengan sepeda di jalan ini, betapa murah hati Manahan, selalu menyiapkan pangkuan rindangnya, seakan berkata: pulanglah dengan tenang, kau sudah bekerja seharian, biar aku yang menenangkan hatimu. Mungkin, esok aku akan lelah lagi. Tapi setiap sore, ketika roda sepedaku kembali melewati jalan Manahan, aku tahu, aku akan kembali sembuh.