Miroso


Di sebuah gang kecil di jantung Klaten, aroma manis yang hangat sering tercium dari sebuah rumah tua. Bukan bau kue, bukan pula harum kopi, melainkan wangi gula jawa yang direbus bersama kedelai hitam. Anak-anak yang berlarian sepulang sekolah sering berhenti di depan rumah itu, menengok sebentar ke dalam, lalu berkata lirih, “Itu wangi kecap Miroso.”

Orang-orang tua di Klaten selalu berkata bahwa kecap ini lahir dari tangan yang sabar. Konon, sejak dua generasi silam, sebuah keluarga di Sidowayah meracik kecap dengan cara yang tak pernah mereka ubah. Kedelai hitam direbus dengan penuh kesungguhan, diramu dengan gula kelapa yang diparut halus, lalu dimasak perlahan dalam kuali besar dari besi tua. Api kayu bakar menyala pelan, memberi panas yang pas, seakan tahu bahwa kecap adalah soal kesabaran, bukan tergesa-gesa.

Di ruang itu, kesunyian hanya pecah oleh bunyi kayu yang meletup di tungku dan suara sendok besar yang mengaduk pelan cairan hitam kental, seperti melukis lingkaran sabar di permukaan waktu. Sejak awal, kecap ini diberi nama Miroso, yang dalam bahasa Jawa berarti “terdengar, terasa, menyentuh.” Nama itu bukan sekadar sebutan, melainkan doa agar rasa kecapnya sampai ke hati orang-orang yang menikmatinya.

Orang-orang kampung percaya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kedelai dan gula di dalam setiap tetes kecap Miroso: ada warisan keluarga, ada tradisi yang dipeluk, dan ada cinta yang diturunkan.

Di pasar Klaten, para pedagang bakso dan sate menyimpan botol berlabel merah itu di sudut warung mereka. Tak jarang, pelanggan bertanya dengan nada penasaran, “Kecap apa ini, kok rasanya beda?” Dan pedagang itu hanya tersenyum, menepuk botol yang penuh cairan manis pekat, lalu berkata, “Kecap Miroso, Klaten asli.”

Waktu berjalan, zaman berganti. Pabrik-pabrik besar dengan mesin modern datang, menawarkan kecap dalam botol ramping dan iklan di televisi. Namun, di gang kecil Klaten itu, kecap tetap dibuat dengan cara lama. Dengan sabar. Dengan tangan. Dengan doa.

Hingga kini, siapa saja yang membuka botol Miroso akan merasakan lebih dari sekadar rasa manis. Ia akan merasakan masa lalu: sawah Klaten yang hijau, pasar tradisional yang riuh, obrolan hangat keluarga di dapur, dan aroma gula jawa yang mengepul di udara kampung. Kecap ini bukan hanya bumbu. Ia adalah cerita. Cerita tentang bagaimana sebuah rasa mampu menjembatani generasi, menyatukan meja makan, dan menjaga nama sebuah kota kecil di Jawa Tengah agar tetap dikenang.