Di dinding kamar tergantung sebuah jam tua dengan jarum yang berjalan pelan, seolah enggan mencapai angka berikutnya. Setiap detiknya terdengar seperti tetes air yang jatuh di gua sunyi, menambah dalam kolam yang tak pernah penuh. Aku mendengarkan denting jam itu, dan di setiap ketukannya, rindu bertambah sedikit demi sedikit, seperti pasir yang mengendap di dasar gelas. Jam bukan sekadar penanda waktu, melainkan pengingat betapa panjang jarak antara satu tatap dengan tatap berikutnya.
Dunia kini kehilangan waktu yang lambat; segalanya dipercepat hingga kita lupa bagaimana rasanya menunggu. Tapi jam tua di dinding ini menolak kecepatan. Ia berjalan dengan sabar, hampir keras kepala, memberi ruang bagi rindu untuk tumbuh. Dalam bunyi jarumnya, aku mendengar gema penantian: bukan hanya terhadap seseorang, tapi terhadap makna yang tak juga tiba. Jam mengajarkan bahwa rindu bukanlah sekejap, melainkan akumulasi yang sunyi.
Aku sering menatap jarum panjang yang berputar tanpa henti, dan membayangkan bahwa ia sedang menuliskan lingkaran rindu yang tak pernah selesai. Putaran demi putaran, bayangan wajah itu kembali muncul, kembali hilang, kembali muncul lagi. Seperti jam, rindu tidak pernah berhenti; ia hanya berputar, mengulang, mengulang, seakan waktu sendiri diciptakan untuk menjaga kerinduan tetap hidup.
Maka aku percaya, jam adalah cermin rindu yang paling sederhana. Ia tidak memberi jawaban, hanya memberi tanda bahwa waktu terus berjalan sementara hati tetap di tempat yang sama. Jarum jam tidak pernah menunggu siapa pun, tapi rindu membuat kita merasa sebaliknya: bahwa setiap detik adalah doa kecil agar ada seseorang yang akhirnya datang, meski tak pernah pasti kapan.