Setiap kali hujan turun di jam pulang kerja, kota berubah menjadi lautan kaca yang penuh kilau lampu kendaraan.
Orang-orang berlarian mencari teduh, sementara aku berdiri di bawah atap reyot sebuah halte, memeluk ransel basah dan mendengarkan rindu yang menetes dari langit. Ada sesuatu tentang hujan di jam sibuk: ia membuat semua orang ingin segera sampai rumah, tapi justru memperlambat langkah, seakan ingin memaksa kita untuk mengingat siapa yang dituju, dan siapa yang tidak lagi menunggu.
Dalam dunia yang terlalu terburu-buru, hujan adalah gangguan yang menunda efisiensi. Namun justru dalam penundaan itu, rindu menemukan ruangnya. Di antara klakson yang bersahutan dan payung-payung yang saling bertubrukan, aku merasakan jarak yang lebih jauh daripada sekadar perjalanan. Hujan mempertegas absensi: ia menanyakan, kepada siapa kau ingin segera pulang, dan siapa yang tak lagi ada di ujung jalan.
Aku menatap kaca bus yang dipenuhi titik-titik air, dan bayangan wajah yang sudah lama hilang muncul samar di balik pantulan. Setiap tetes yang jatuh seperti mengetuk hatiku, mengingatkan bahwa pulang tidak selalu berarti sampai di rumah; kadang pulang hanyalah perjalanan batin menuju seseorang yang tak lagi ada di sana. Dan rindu, dalam hujan, terasa lebih tajam, karena ia bercampur dengan dingin yang menembus jaket tipis, menempel di kulit tanpa bisa diusir.
Maka aku percaya, hujan di waktu pulang kerja adalah cara dunia memperlambat kita agar kembali mendengar hati sendiri. Ia memaksa kita menunggu, basah, lelah, tapi juga jujur: bahwa di balik semua rutinitas dan keramaian, ada satu nama yang selalu muncul ketika air turun dari langit. Dan mungkin, itu sebabnya rindu paling sering datang bersama hujan, karena keduanya sama-sama jatuh, tanpa bisa memilih di mana harus berhenti.