Rindu Dua Puluh Delapan


Malam ini dipenuhi warna dan dentum bunyi yang datang dari panggung, seolah dunia sedang mempersembahkan dirinya untuk dilihat, didengar, dirayakan. Lampu-lampu menari, suara musik berpadu dengan langkah manusia yang memenuhi jalan. Namun di tengah keramaian itu, aku merasa ada ruang sunyi yang tetap melekat di dalam dada: rindu yang tak ikut larut dalam pesta. Seperti bintang yang tetap jauh meski langit malam dipenuhi cahaya buatan.

Dunia kini berubah menjadi sebuah event, peristiwa yang terus berputar demi hadirkan sensasi baru. Tapi rindu menolak menjadi sekadar sensasi. Ia bukan dentum sesaat, melainkan gema yang tak habis-habis. Di antara sorak-sorai festival, rindu berdiri teguh, membuat hati tak pernah sepenuhnya bisa dilenakan oleh pertunjukan. Bahkan di momen yang ramai, ada bagian dari jiwa yang tetap kosong, menunggu satu kehadiran yang tidak bisa diganti.

Aku tersenyum untuk kamera, berdiri di depan papan merah dengan tulisan besar, membiarkan tubuhku jadi bagian dari catatan malam itu. Tapi jauh di balik senyum, aku tahu rindu sedang berdiam, menontonku seperti penonton lain yang tidak bertepuk tangan. Ia hanya menatap, diam, tapi menancapkan sesuatu yang lebih dalam dari semua musik yang menggelegar di udara.

Maka aku percaya, rindu adalah pertunjukan yang tak pernah selesai. Ia tidak membutuhkan panggung, tidak mencari penonton, dan tak perlu tepuk tangan. Ia berlangsung dalam diri, di balik cahaya dan suara dunia luar. Bahkan ketika tubuh kita berada di tengah festival, jiwa tetap bisa berada di tempat lain, di samping seseorang yang jauh, yang absen, yang justru membuat malam penuh cahaya terasa remang.