Malam itu jalanan terasa terlalu luas. Lampu-lampu kota berdiri tegak seperti saksi bisu, memandangi setiap langkahku yang pelan dan berat. Tak ada suara selain derap sepatuku sendiri, tak ada bayangan lain yang menemani. Jalan pulang yang lengang adalah lorong waktu, mengulur detik-detik agar semakin panjang. Di sanalah rindu ikut berjalan, menempel di punggung seperti mantel yang tak bisa kulepas, membuat udara malam terasa lebih dingin daripada biasanya.
Ruang-ruang kini kehilangan keheningannya, kota terlalu ramai, terlalu terang, terlalu bising. Namun jalan pulang yang lengang justru mengembalikan keheningan itu. Kesunyian menjadi wadah bagi rindu, membuatnya lebih jelas terdengar, lebih jelas terasa. Tanpa lalu-lalang manusia, tanpa suara kendaraan, yang tersisa hanyalah langkah kita sendiri, dan di antara langkah-langkah itu, nama seseorang yang terus berulang dalam kepala.
Aku sering merasa, berjalan di jalan pulang yang kosong adalah seperti menulis surat dengan kaki. Setiap langkah adalah huruf, setiap persimpangan adalah tanda baca. Namun surat itu tidak pernah terkirim, karena alamatnya tak pernah kutemukan. Yang ada hanyalah jarak yang terus mengulur, dan rindu yang semakin padat. Kesepian di jalan itu seolah memantulkan bayangan orang yang kunantikan di setiap etalase kosong, lalu menghilang begitu saja ketika kudekati.
Maka aku percaya, jalan pulang yang lengang adalah panggung rindu yang paling luas. Ia tidak menuntun kita sampai pada seseorang, hanya sampai pada kesadaran bahwa kita pulang sendirian. Tapi justru di situlah rindu tumbuh subur: dalam langkah-langkah yang panjang, dalam lampu-lampu yang temaram, dalam keheningan yang menolak dipecah. Dan ketika akhirnya sampai di pintu rumah, rindu itu tetap ikut masuk, tak pernah tertinggal di jalan.