Setiap pagi aku membuka mata bukan pada cahaya matahari, melainkan pada layar yang penuh dengan kabar. Dunia seakan berlomba menuangkan dirinya ke dalam genggaman kecil ini: bencana di satu tempat, kemenangan di tempat lain, opini yang saling bertubrukan. Semua datang sekaligus, menumpuk di kepala, membuat hati terasa sesak. Informasi yang terlalu banyak seperti debu yang masuk ke paru-paru; ia membuat bernapas semakin sulit, membuat tubuh letih bahkan sebelum hari benar-benar dimulai.
Terlalu banyak cahaya, terlalu banyak suara, terlalu banyak data. Kelelahan bukan hanya fisik, tetapi juga jiwa yang dipaksa menelan lebih dari yang bisa ia cerna. Di tengah semua itu, rindu justru terasa seperti satu-satunya hal yang murni: sederhana, tunggal, tidak bertubi-tubi. Ia adalah kekurangan yang menenangkan, lawan dari kelebihan yang melelahkan.
Aku sering menutup layar, lalu bersandar pada dinding kamar, membiarkan mata memejam. Di dalam hening itu, rindu muncul pelan-pelan, seperti embusan angin setelah badai. Rindu tidak berisik, tidak menyerbu, tidak menuntut. Ia datang dengan lembut, menawarkan pelukan pada pikiran yang kepayahan. Barangkali inilah alasannya mengapa di tengah arus informasi yang tak pernah berhenti, nama seseorang yang kita rindukan terasa jauh lebih berharga daripada seribu berita yang datang bersamaan.
Maka aku percaya, informasi yang membuat lelah justru membuka ruang bagi rindu untuk bernapas. Sebab rindu tidak pernah melelahkan; ia adalah jeda yang menenangkan, sebuah kekurangan yang menyeimbangkan kelebihan. Ketika dunia terlalu bising, rindu hadir sebagai sunyi yang menyembuhkan, mengembalikan kita pada satu wajah, satu suara, satu kehadiran yang mampu menenangkan seluruh kebisingan dunia.