Aku pernah berdiri di tengah pasar malam yang penuh lampu dan suara: musik yang memekakkan telinga, tawa yang meledak dari mulut anak-anak, pedagang yang berteriak menawarkan dagangannya. Namun entah mengapa, di balik riuh itu, aku merasakan sunyi yang begitu pekat. Rindu menyelinap di antara kerumunan, menempel di tubuhku seperti bayangan yang tak terlihat. Sunyi itu bukan karena sepi, melainkan karena ada satu suara yang kucari, dan tak kutemukan di sana.
Zaman ini justru melahirkan kesepian yang paradoksal: semakin ramai kita terhubung, semakin sunyi hati kita terasa. Keramaian menjadi semacam tirai yang menutupi kekosongan batin. Tetapi rindu tidak bisa ditutupi. Ia akan selalu menemukan celah untuk muncul, bahkan di tengah kerumunan, bahkan saat tubuh dikelilingi manusia. Sunyi itu bukan ketiadaan, melainkan penekanan: bahwa di antara semua yang ada, ada satu yang absen, dan absensi itulah yang paling keras bersuara.
Aku berjalan melewati keramaian, namun langkahku seperti milik orang asing. Orang lain sibuk menikmati malam, sementara aku sibuk menahan nama yang terus muncul di kepala. Rindu membuat dunia di sekitarku kabur; cahaya lampu jadi buram, suara musik jadi jauh. Yang tersisa hanyalah denyut sunyi di dada, yang semakin jelas justru karena segala yang di luar terlalu bising.
Maka aku percaya, sunyi di tengah keramaian adalah bukti bahwa rindu tak mengenal ruang dan waktu. Ia bisa lahir di tengah pesta, di antara ribuan orang, bahkan saat dunia menyalakan semua lampunya. Sunyi itu adalah panggilan hati, pengingat bahwa rindu tidak membutuhkan sepi untuk tumbuh, ia cukup dengan absensi, cukup dengan satu ketidakhadiran yang tak bisa digantikan oleh kehadiran siapa pun.