Rindu Dua Puluh Lima


Hidup sering kali berjalan seperti kabut yang menelan jalanan. Kita melangkah tanpa tahu sejauh mana pandangan bisa menembus, tanpa kepastian apakah di depan ada jurang atau jembatan. Dalam kabut itu, hati mudah gentar, pikiran cepat lelah. Namun justru di sanalah rindu lahir: ia adalah cahaya samar yang membuat kita terus bergerak meski jalan tidak terlihat jelas. Rindu mengajarkan bahwa tidak semua harus pasti untuk tetap bisa dijalani.

Masyarakat kini terperangkap dalam obsesi kendali: segalanya ingin diprediksi, dipercepat, dikalkulasi. Namun ketidakpastian tidak bisa dihapus, hanya bisa dihadapi. Di titik inilah resiliensi menemukan maknanya, bukan sekadar kemampuan bertahan, tetapi kemampuan menemukan ketenangan di tengah gelombang. Resiliensi adalah menerima bahwa ketidakpastian adalah rumah, dan justru di sana jiwa kita ditempa.

Aku belajar bahwa ketenangan tidak datang dari kepastian, melainkan dari keberanian untuk berdiri di tengah yang tak pasti. Seperti duduk di stasiun menunggu kereta yang tak tahu kapan tiba, atau menatap layar kosong menunggu pesan yang mungkin tak pernah datang. Resiliensi bukan mengusir rindu, melainkan membiarkan rindu hadir tanpa membuat kita hancur. Ia adalah kesediaan untuk menunggu dengan sabar, dan berjalan meski langkah terasa berat.

Maka aku percaya, menemukan ketenangan di tengah ketidakpastian bukanlah kemewahan, melainkan latihan jiwa sehari-hari. Ia lahir dari menerima bahwa rindu tak selalu berakhir pada pertemuan, bahwa jalan tak selalu terang. Resiliensi adalah kemampuan untuk tetap hidup dengan hati yang bergetar, tanpa menuntut semua jawaban sekarang juga. Dan mungkin, justru dalam ketidakpastian itulah kita belajar: bahwa jiwa bisa lebih luas daripada gelisah, dan rindu bisa menjadi kekuatan, bukan hanya luka.