Ada nada panggil yang panjang, berulang, seperti detak jantung yang dipaksa menunggu. Suara tuut… tuut… itu terdengar sederhana, namun di baliknya ada jarak yang tak tertembus. Aku menempelkan ponsel ke telinga, mendengar kesunyian yang semakin berat setiap detiknya. Telepon yang tak diangkat adalah jembatan yang berhenti di tengah sungai, menggantung tanpa ujung. Rindu menyeberang di sana, lalu jatuh ke dalam air yang gelap, tak tahu ke mana harus berenang.
Komunikasi yang terlalu instan, membuat kita lupa pada nilai ketidakhadiran. Namun telepon yang tak diangkat justru mengembalikan absensi itu. Ia memberi ruang kosong, memberi ketidakpastian yang menyakitkan, tapi justru di situlah rindu bernapas. Rindu tidak pernah hidup dari jawaban, melainkan dari penantian. Dan penantian itu paling murni ketika suara yang kita harap-harap tak juga menjawab.
Aku pernah menunggu hingga panggilan berakhir sendiri, layar kembali gelap, menyisakan pantulan wajahku sendiri. Rasanya seperti berbicara pada cermin yang tak memberi balasan. Tapi di situlah aku sadar, telepon yang tak diangkat bukan berarti pesan tak sampai. Kadang, diam justru lebih keras dari kata. Rindu bergetar di udara, menempel di kabel-kabel tak terlihat, menyusup ke ruang sunyi yang tak pernah kita jamah.
Maka aku percaya, telepon yang tidak diangkat adalah doa yang terputus, tapi tak pernah hilang. Ia akan terus menggantung di udara, menunggu telinga yang mungkin suatu hari bersedia mendengarkan. Dan sampai hari itu tiba, jika memang tiba, rindu akan tetap berputar di antara nada panggil itu, seperti burung yang kehilangan tempat mendarat, tapi tetap mengepakkan sayapnya.