Rindu Dua Puluh Sembilan


Malam itu, langit di atas Taman Balekambang memantulkan keteduhan yang hanya bisa lahir setelah segala riuh reda. Payung-payung yang semula menari dalam cahaya kini berubah menjadi lentera diam, menyimpan cerita dari hari-hari panjang yang penuh warna. Di panggung yang perlahan meredup, rindu menemukan ruangnya: ia hadir seperti bulan yang menggantung, tetap bersinar meski pertunjukan sudah usai.

Setiap perayaan modern sering kali berakhir dengan kehampaan, karena intensitasnya terlalu cepat dan terlalu padat. Tetapi rindu berbeda. Ia tidak pudar bersama lampu panggung, ia justru lahir ketika lampu dipadamkan. Rindu bukan tentang riuhnya acara, melainkan tentang ruang kosong yang tersisa setelahnya. Ia adalah gema, bukan dentum.

Aku duduk di bawah pohon, menatap payung-payung yang masih menyala lembut, dan merasa seperti berada di antara perpisahan dan kenangan. Orang-orang mulai bubar, suara langkah menggantikan tepuk tangan, dan udara malam membawa aroma lembap tanah Balekambang. Dalam keheningan itu, aku sadar bahwa rindu bekerja seperti festival: ia mengundang kita, memberi warna, lalu meninggalkan kita dengan kesunyian yang lebih dalam dari sebelumnya.

Aku percaya, penutupan bukanlah akhir, melainkan pintu bagi rindu untuk hidup lebih lama. Festival berakhir malam itu, tetapi rindu tidak mengenal penutupan. Ia akan kembali tiap kali aku mengingat cahaya payung, suara malam, dan bayangan bulan yang menonton dari kejauhan. Dan mungkin, justru di situlah letak keindahan: bahwa yang hilang bisa tetap hidup, bukan di panggung, melainkan di hati.