Hari ini layar ponselku berkedip tanpa henti. Puluhan pesan masuk, berita dunia, iklan yang menyelinap, panggilan singkat yang tak sempat kujawab. Informasi datang bertubi-tubi seperti hujan deras di atap seng, bising, tak memberi ruang untuk bernapas. Namun di tengah riuh itu, aku justru merasa semakin sunyi. Karena dari semua kabar yang menyesaki layar, tak ada satu pun yang datang darimu. Rindu, rupanya, semakin keras terdengar ketika dunia terlalu ramai.
Banjir informasi modern membuat makna tercerai-berai. Kita tidak lagi punya waktu untuk merenungkan satu kata, satu kalimat, satu nama. Segalanya bergulir terlalu cepat, menumpuk tanpa jeda. Tapi rindu menolak percepatan itu. Ia adalah sebuah penantian, sebuah jeda, sebuah kekurangan. Ketika informasi datang deras, rindu memilih berhenti, berdiri di tengah arus, menunggu sesuatu yang tak bisa dipaksa datang.
Aku menatap layar yang tak pernah padam, berharap ada satu pesan sederhana, sekadar sapaan, atau tanda bahwa jarak ini tak benar-benar sunyi. Namun yang ada hanyalah kabar tentang dunia yang tak kupedulikan. Rasanya seperti berada di tengah pasar yang riuh, namun mencari satu suara yang tak pernah terdengar. Rindu menjadi semacam penyaring, menolak semua bising itu, hanya ingin satu frekuensi yang hilang.
Maka aku percaya, di tengah arus informasi yang bertubi-tubi, rindu justru menemukan dirinya sebagai lawan. Ia bukan kabar yang berisik, melainkan diam yang dalam. Ia tidak muncul bersama notifikasi, melainkan dalam jeda panjang ketika layar akhirnya padam. Dan dalam keheningan itulah, rindu bersuara lebih jelas daripada semua berita yang menyesaki dunia.