Setiap kali aku berdiri di depan cermin, wajah yang kembali menatapku selalu terasa asing. Ada garis-garis baru yang muncul, ada letih yang tak bisa kusembunyikan. Namun yang paling aneh adalah bayangan samar yang kerap muncul di sela pantulan itu: seolah di balik wajahku sendiri, ada wajah lain yang bersembunyi. Rindu, rupanya, tahu bagaimana menipu cermin. Ia membuat kita percaya bahwa dalam diri sendiri, ada jejak orang lain yang pernah menetap terlalu lama.
Identitas modern kerap tercerai oleh pantulan diri, kita mengejar citra, membangun wajah, kehilangan kedalaman. Tapi rindu mengembalikan kedalaman itu. Dalam cermin, rindu membuat pantulan jadi lebih dari sekadar kulit. Ia memunculkan bayangan ingatan: senyum yang pernah kita lihat, tatapan yang pernah menyentuh, bahkan keheningan yang pernah kita bagi. Cermin berhenti menjadi benda, ia berubah menjadi jendela menuju absen yang paling kita rindukan.
Aku sering lama terdiam di depan cermin, bukan untuk memperbaiki penampilan, melainkan untuk mendengarkan suara rindu yang berbisik lewat pantulan. Kadang aku merasa, cermin bukan lagi memantulkan wajahku, melainkan menanyakan: siapa yang sedang kau tunggu? siapa yang hilang dari ruangan ini? Dan setiap kali aku tak bisa menjawab, rindu menambahkan satu lapisan baru pada bayangan, membuatnya semakin pekat.
Maka aku percaya, cermin adalah medium paling jujur bagi rindu. Ia tidak berbohong, tidak memberi wajah orang lain, tapi justru memperlihatkan betapa kosongnya diri ketika absen itu tak terisi. Cermin menegaskan bahwa kita tidak hanya kehilangan orang lain, tetapi juga kehilangan bagian dari diri sendiri. Dan rindu, dalam pantulan itu, bukan sekadar mengingat, melainkan mencari diri yang ikut pergi bersama seseorang yang pernah kita cintai.
