Rindu Dua Puluh


Ada pagi-pagi yang terasa tergesa, seakan matahari dipaksa terbit sebelum waktunya. Alarm berbunyi seperti cambuk, jendela dipenuhi cahaya yang terlalu tajam, dan tubuh ditarik ke dalam rutinitas sebelum sempat bernapas. Namun hati, entah kenapa, masih tertinggal di ranjang, masih ingin berlama-lama bersama mimpi yang belum selesai. Di dalam mimpi itu, ada wajah yang tersenyum samar, ada suara yang nyaris bisa kuraih. Tapi pagi datang terlalu cepat, merobek mimpi, meninggalkan rindu yang basah di kelopak mata.

Zaman kita adalah zaman kelebihan aktivitas, di mana pagi selalu identik dengan produktivitas. Tapi rindu menolak logika itu: ia bukan soal kecepatan, melainkan soal jeda. Pagi yang terlalu cepat justru memperlihatkan betapa rapuhnya hati, betapa ia tak siap ditarik dari dunia malam yang penuh bayangan. Rindu adalah sisa mimpi yang tak sempat selesai, serpihan malam yang terbawa ke dalam hiruk pikuk siang.

Aku sering duduk di tepi ranjang, membiarkan tubuh terbangun sementara jiwa masih tertidur. Secangkir kopi tak mampu mengusir rasa itu; sebaliknya, ia justru mempertegas kekosongan. Di luar, dunia sudah sibuk: langkah kaki di jalan, suara kendaraan, percakapan terburu-buru. Tapi di dalam diriku, waktu berjalan lambat, menolak dipercepat. Aku merasa seakan rindu sedang menahan lenganku, memohon agar aku tinggal sedikit lebih lama dalam kegelapan yang lembut.

Maka aku percaya, pagi yang terlalu cepat adalah pengingat bahwa tidak semua hal bisa mengikuti jam kerja dunia. Ada perasaan yang butuh ruang untuk bangun perlahan, ada nama yang harus dilepaskan dengan hati-hati dari sisa mimpi. Dan setiap kali matahari mendahului kesiapan hati, rindu pun tumbuh, sebagai bayangan yang kita bawa sepanjang hari, lahir dari sebuah pertemuan singkat di antara tidur dan terjaga.