Di laci meja kayu yang sudah mulai lapuk, ada tumpukan amplop berdebu, sebagian masih kosong, sebagian sudah penuh dengan kata-kata yang tidak pernah dikirimkan. Aku membacanya kembali suatu malam, dan di sana rindu tampak begitu jelas: ia bukan hanya dalam isi surat, tetapi dalam keberaniannya yang setengah hati, ditulis dengan cinta, tapi ditahan oleh takut. Surat-surat itu adalah saksi bahwa rindu tidak selalu ingin sampai; kadang ia cukup bahagia hidup di dalam kata yang tak terbaca.
Komunikasi yang terlalu cepat, yang membunuh jarak dan membuat kata kehilangan bobotnya. Tapi surat yang tak terkirim adalah bentuk perlawanan: ia menunda, ia menahan, ia menyimpan. Rindu di atas kertas bukan untuk menjawab, melainkan untuk menunggu. Kertas menjadi tubuh, tinta menjadi darah, dan kata-kata menjadi napas yang hanya berdenyut di ruang sunyi.
Aku membayangkan jika surat itu benar-benar terkirim, apakah rindu akan kehilangan kekuatannya? Mungkin iya. Karena yang paling indah dari surat adalah ketidakpastiannya, apakah ia akan dibaca, apakah ia akan dipahami, atau bahkan apakah ia akan sampai. Surat yang tak terkirim menunda jawaban, membuat rindu tetap hidup dalam ketidaklengkapan, seperti sebuah jembatan yang sengaja tidak diselesaikan agar sungai tetap terasa lebar.
Maka aku percaya, surat yang tak terkirim adalah bentuk rindu paling murni. Ia tidak mencari balasan, tidak meminta kepastian, hanya ingin ada di dunia sebagai bukti bahwa hati pernah bergetar. Dan barangkali, justru karena tidak sampai, surat itu bisa terus bernapas, lebih lama daripada rindu yang dipenuhi. Ia adalah pesan yang ditulis bukan untuk dibaca, melainkan untuk menjaga api kecil di dalam dada agar tidak padam.