Ada malam-malam ketika langit begitu pekat hingga bahkan bulan pun tampak enggan menampakkan wajahnya. Malam tanpa bintang seperti itu membuat dunia terasa seolah ditelan kegelapan purba. Di saat seperti itu, rindu muncul paling jelas, bukan sebagai cahaya, melainkan sebagai lubang yang semakin dalam, menarik hati tanpa belas kasihan. Aku berdiri menatap langit kosong, dan di sana, di ruang hampa itu, aku merasakan ketidakhadiran seseorang lebih kuat daripada kehadirannya sendiri.
Zaman kini dipenuhi cahaya berlebih: terang layar, kilau neon, sorot lampu yang menyingkirkan setiap celah gelap. Namun terlalu banyak cahaya justru membutakan. Malam tak berbintang mengembalikan pandangan pada kegelapan, ruang di mana rindu bisa bernapas tanpa diganggu. Gelap memberi rindu ruang untuk tumbuh, seperti akar yang merambat di tanah basah, sunyi namun kuat.
Aku sering merasa, rindu di malam tak berbintang adalah rindu yang paling jujur. Tanpa tanda, tanpa arah, ia tidak lagi bergantung pada wajah atau bayangan. Ia hanyalah perasaan mentah yang mengalir, seperti air hitam yang mencari muara. Dalam gelap itu, nama seseorang bisa terasa begitu dekat meski tak terucap, dan tubuh yang jauh bisa terasa hangat meski tak pernah disentuh. Gelap membuat rindu melepaskan semua penopang, hingga yang tersisa hanyalah inti rasa itu sendiri.
Maka aku percaya, malam tak berbintang adalah kitab sunyi yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang merindu. Ia tidak memberi cahaya, tidak memberi petunjuk, hanya ruang kosong yang luas. Tetapi justru di situlah rindu menemukan kekuatan terdalamnya: ia tidak lagi membutuhkan arah untuk berjalan, cukup keberanian untuk bertahan dalam gelap. Dan dalam gelap itu, kita tahu, bahwa meski langit kosong, hati masih penuh oleh sesuatu yang tak bisa padam.