Rindu Lima Belas


Di setiap langkah yang kutinggalkan di jalan berdebu, selalu ada bayangan yang setia mengikutiku. Kadang ia panjang, kadang pendek, kadang samar, tetapi tak pernah betul-betul hilang. Aku sering berpikir: mungkin rindu adalah bayangan yang menolak tercerabut dari tubuh. Ia berjalan bersama kita, meski orang yang dirindukan tidak lagi sejajar, bahkan mungkin sudah tak ada di dunia. Bayangan adalah wajah rindu yang paling jujur: ia tak pernah mendahului, tapi juga tak pernah meninggalkan.

Manusia modern terjebak dalam cahaya berlebih, dunia yang terlalu terang hingga kehilangan kedalaman. Namun rindu justru membutuhkan cahaya yang terbatas, karena tanpa cahaya, bayangan tak akan lahir. Dalam bayangan, ada misteri yang tak bisa ditangkap oleh kilatan layar atau sorot lampu kota. Bayangan menjaga rindu tetap hidup, dengan caranya yang sederhana: hanya dengan menempel tanpa suara.

Aku pernah berjalan sendirian di bawah lampu jalan yang redup, dan bayanganku sendiri tampak seperti orang asing yang setia. Saat itu aku mengerti, rindu seringkali tidak hadir dalam wujud wajah atau suara, tetapi dalam kehadiran samar yang mengikuti tanpa bisa dipeluk. Bayangan tidak bisa dipeluk, seperti halnya rindu tidak bisa dipenuhi. Namun keduanya memberi kepastian: bahwa ada sesuatu yang terus menemani, meski tak pernah benar-benar hadir.

Maka aku percaya, bayangan adalah metafora bagi rindu yang tak mengenal jarak. Ia ada selama ada cahaya, bahkan cahaya yang paling kecil sekalipun. Dan ketika akhirnya gelap total tiba, bayangan pun hilang, tapi bukan berarti ia mati, ia hanya bersembunyi, menunggu cahaya lain untuk kembali hidup. Seperti rindu: ia tidak pernah habis, hanya berganti bentuk, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali di sisi kita.