Di warung kecil bernama Wedangan Sahabat, rindu sering duduk sendirian, menyamar sebagai gelas jahe hangat yang lupa dihabiskan. Meja kayu yang sudah lecet, baki plastik hijau, dan lampu temaram yang bergantung rendah menjadi saksi bagi pertemuan yang tidak jadi, bagi janji yang tidak pernah ditepati. Orang-orang datang dan pergi, tetapi rindu tetap tinggal, menunggu seseorang yang entah kapan akan datang kembali.
Dunia modern semakin miskin ruang bagi kebersamaan sejati. Tempat-tempat sederhana seperti warung ini perlahan hilang, tergantikan oleh kafe yang serba cepat dan serba bersih, tapi miskin keheningan. Namun rindu membutuhkan ruang yang lambat: meja yang bisa ditingkahi percakapan panjang, kursi yang menahan tubuh berjam-jam, dan cahaya redup yang membuat waktu seolah berhenti. Warung malam adalah rumah rahasia bagi rindu, tempat ia bisa duduk tanpa diusir.
Aku pernah melihat seseorang menunggu terlalu lama di sudut warung ini. Gelas jahenya sudah dingin, lauknya sudah kering, tapi matanya tetap terpaku pada pintu. Ada kesetiaan yang ganjil dalam cara ia menunggu, seolah rindu sendiri yang mengajarinya bagaimana menahan waktu tanpa henti. Dan ketika yang ditunggu tak kunjung datang, ia tetap pulang dengan tenang, karena rindu kadang lebih memilih penantian daripada pertemuan.
Maka aku percaya, warung malam adalah altar kecil bagi kerinduan. Di sanalah waktu ditunda, percakapan dibiarkan menggantung, dan bayangan seseorang yang jauh terasa lebih nyata daripada orang-orang yang duduk berdesakan. Rindu tidak membutuhkan tempat megah; cukup meja sederhana, cahaya lampu redup, dan kesediaan hati untuk menunggu. Karena rindu, seperti warung ini, selalu hidup di sela-sela kesunyian yang sederhana.