Rindu Sembilan Belas


Di ruang makan rumah tua, ada satu kursi yang selalu dibiarkan kosong. Tidak ada yang berani menaruh tubuh di atasnya, seolah kursi itu masih menyimpan jejak duduk seseorang yang lama pergi. Setiap kali aku melewati ruangan itu, kursi kosong tersebut menatapku lebih keras daripada semua mata yang hidup. Rindu, rupanya, tak selalu hadir dalam kata atau bayangan; kadang ia berdiam dalam benda yang diam, dalam ruang yang enggan ditempati lagi.

Dunia modern sibuk menghapus kekosongan, setiap ruang harus diisi, setiap waktu harus dipadati. Tapi kursi kosong menolak logika itu. Ia adalah ruang yang disengaja, sebuah jeda yang dipelihara. Justru dari kekosongan itu rindu lahir, sebab tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat tempat yang pernah penuh kini dibiarkan telanjang. Kekosongan adalah panggung bagi absensi, dan absensi adalah jantung dari rindu.

Aku sering membayangkan kursi itu berbicara. Ia mungkin mengeluh karena ditinggalkan, atau mungkin ia setia, menunggu tubuh yang tak akan kembali. Setiap goresan kayunya menyimpan cerita yang tak bisa kutebak: tawa yang pernah duduk di situ, air mata yang pernah menetes, atau hening yang pernah mengikat dua orang tanpa suara. Kursi kosong adalah kitab diam yang terbuka setiap hari, meski tak ada halaman baru yang ditambahkan.

Maka aku percaya, kursi kosong adalah simbol rindu yang paling telanjang. Ia tidak menipu, tidak menyamarkan, hanya menunjukkan ketiadaan dengan jujur. Tetapi justru dalam kejujuran itulah rindu menemukan kekuatannya: ia tidak memberi ilusi, hanya memberi ruang agar kita mengakui bahwa ada seseorang yang tak lagi di sana. Dan selama kursi itu tetap kosong, rindu akan terus duduk di atasnya, setia tanpa tubuh, tapi berat dalam kehadiran yang tak terlihat.