Rindu Tiga Belas


Di stasiun yang sepi, kereta malam selalu datang seperti ular besi yang lapar, menelan penumpang dengan deru yang berat lalu membawanya ke arah yang tak terlihat. Aku duduk di kursi kayu yang dingin, menunggu keberangkatan, dan rindu mendekat pelan, duduk di sampingku tanpa pernah membeli tiket. Ada sesuatu tentang kereta malam: ia selalu membawa pergi lebih banyak daripada yang ia kembalikan, meninggalkan jejak kepergian di setiap kursi kosong yang tertinggal. 

Perjalanan modern membuat ruang dan waktu menyempit; jarak jadi singkat, kepergian jadi biasa. Namun kereta malam menolak logika itu. Ia melambatkan tubuh, memperpanjang jarak, membuat setiap menit terasa berat, dan di situlah rindu mendapat tempatnya. Di balik jendela gelap yang hanya memantulkan wajah sendiri, rindu berjalan sejajar dengan rel, tak pernah lelah meski kereta melaju tanpa henti.

Aku sering melihat seseorang tertidur di kursi, kepalanya bersandar pada kaca, bibirnya bergerak-gerak menyebut nama yang tak pernah sampai. Kereta malam adalah ruang di mana rindu menjadi paling jujur, ia tak bisa disembunyikan dalam kesibukan, tak bisa dialihkan dengan pemandangan, karena yang terlihat hanyalah kegelapan yang panjang. Dalam gelap itu, satu-satunya cahaya adalah bayangan seseorang yang ditinggalkan atau yang dituju.

Maka aku percaya, kereta malam bukan hanya alat perjalanan, melainkan perpanjangan dari rindu itu sendiri. Setiap derit roda di atas rel adalah detak jantung yang menahan kehilangan, setiap pemberhentian adalah jeda untuk mengingat. Dan ketika akhirnya sampai, kita sadar: perjalanan dengan kereta malam bukan untuk bertemu, melainkan untuk belajar bagaimana menanggung jarak dengan sabar.