Ada malam ketika langit sendiri seakan berubah wajah: bulan yang biasanya pucat dan setia tiba-tiba berubah merah, seakan sedang menanggung rahasia besar. Gerhana bulan merah bukan sekadar peristiwa astronomi, tapi juga sebuah gema emosional. Orang-orang menatapnya dengan campuran kagum, takut, bahkan doa yang lirih. Dalam warna merah itu, aku merasakan rindu menajam, seakan ada sesuatu yang ditelan oleh gelap dan tak tahu apakah akan dikembalikan.
Lalu ada hujan yang turun di hari terakhir Sekaten. Bagi sebagian orang, hujan itu mungkin gangguan: menutup lapak pedagang, membubarkan keramaian, membuat tanah becek. Tapi bagi jiwa yang sedang rindu, hujan di penghujung pesta terasa seperti tanda perpisahan yang terlalu dini. Air yang jatuh dari langit membawa serta perasaan campur aduk, antara syukur karena sempat merayakan, dan getir karena segalanya bubar sebelum benar-benar siap berakhir.
Dan akhirnya, pergantian menteri keuangan, sebuah peristiwa politik yang mungkin jauh dari langit dan pesta, tapi dekat dengan kehidupan sehari-hari. Angka-angka, kebijakan, dan nama-nama baru yang muncul di berita menghadirkan rasa cemas sekaligus harap. Ada ketidakpastian di balik wajah serius para pejabat, dan di sanalah rindu menemukan bentuk lain: rindu pada kestabilan, pada kepastian yang jarang benar-benar ada di dunia ini.
Tiga hal itu, gerhana, hujan, dan pergantian, membuat hati campur aduk karena semuanya adalah tanda bahwa hidup tak pernah benar-benar bisa kita genggam. Langit bisa berubah, pesta bisa bubar, kekuasaan bisa berpindah. Rindu pun ikut berubah wajah: kadang doa, kadang air mata, kadang sekadar rasa ingin kembali pada sesuatu yang tetap. Namun barangkali justru dari campur aduk itulah kita belajar resiliensi: menerima bahwa yang sementara pun bisa menjadi guru yang paling setia.
