Rindu Tiga Puluh


Malam gerhana itu seperti sebuah pertunjukan sunyi yang tak perlu tiket. Langit menjadi panggung raksasa, bulan menjadi aktor utama yang tiba-tiba malu-malu, lalu memerah, seolah sedang menyimpan rahasia besar. Aku menatapnya lama, dan entah mengapa, hatiku ikut merona. Rasanya kecil sekali aku ini, seperti titik debu yang tersedot ke dalam luasnya semesta. Dan di sanalah, dalam hening itu, rindu pun datang. Bukan rindu yang gaduh, tapi rindu yang pelan-pelan mengalir seperti doa.

Di zaman ketika lampu jalanan tak pernah tidur dan gedung-gedung lupa memejamkan mata, manusia mulai kehilangan rasa takjub pada gelap. Padahal gelap itu seperti ruang tunggu bagi keindahan. Gerhana mengingatkan kita akan hal itu. Ia seperti guru tua yang sabar, memaksa kita berhenti sebentar, menatap langit, dan belajar rendah hati, bahwa ada sesuatu di luar jangkauan kita. Di titik itulah kekaguman tumbuh. Dan rindu? Ah, rindu tak lain adalah anak kecil dari kekaguman itu sendiri. Kita merindukan sesuatu justru karena kita mengaguminya. Karena ia absen, kita jadi lebih sadar akan kehadirannya.

Tapi gerhana bukan hanya soal indah. Ada juga cemas yang merayap. Mungkin sisa dari dongeng-dongeng lama: Batara Kala yang lapar, bulan yang ditelan, bisik-bisik tentang pertanda buruk. Gelap yang datang tiba-tiba selalu membuat manusia berdebar. Dan rindu pun bekerja dengan cara yang sama. Ia bisa menenangkan seperti nyanyian ibu, tapi bisa juga membuat dada sesak seperti kabar buruk yang datang dari jauh.

Aku yakin, gerhana bulan bukan sekadar urusan astronomi. Ia adalah kaca besar bagi jiwa kita. Di dalamnya kita belajar, ternyata manusia mampu menampung dua rasa sekaligus: takjub dan takut, damai dan gelisah. Rindu pun demikian, kadang ia berwujud doa yang manis, kadang luka yang diam-diam. Tapi seperti bulan yang akhirnya kembali bersinar setelah ditelan bayangan, rindu pun selalu menyisakan cahaya. Sekecil apa pun, ia cukup untuk membuat hati percaya, bahwa gelap tak pernah sepenuhnya abadi.