Rindu Tujuh Belas


Setiap sore aku duduk di depan jendela, membiarkan cahaya terakhir hari menembus tirai tipis. Dari sana, dunia terlihat seperti lukisan yang tak pernah selesai: langkah orang-orang yang pulang, suara sepeda motor yang terburu-buru, dan angin yang membawa aroma hujan dari kejauhan. Namun yang kucari tak pernah muncul. Rindu, rupanya, selalu memilih jendela sebagai tempatnya berdiam: ia tidak ingin keluar, tapi juga tak mau tinggal diam di dalam. Ia hanya menatap, menunggu, menggantung.

Hidup modern terlalu sibuk dengan layar, hingga mata kehilangan hubungan dengan horizon yang jauh. Jendela adalah perlawanan kecil terhadap itu. Ia membuka ruang bagi jarak, ruang bagi kemungkinan yang tak bisa dipercepat. Dalam pandangan ke luar jendela, rindu menemukan medan bermainnya: ia menatap jalan yang kosong, lalu mengisinya dengan bayangan orang yang tak lagi lewat.

Aku pernah melihat seorang anak kecil menunggu ayahnya di jendela. Setiap suara kendaraan membuat matanya berbinar, lalu meredup ketika bukan wajah yang ia kenali. Dari tatapan itu aku belajar, bahwa jendela adalah guru kesabaran. Ia mengajarkan bahwa tidak semua yang kita nantikan akan datang, dan kadang-kadang, menunggu itulah inti dari rindu. Karena yang ditunggu bisa jadi tak akan pernah tiba, tetapi hati tetap memilih berjaga di tepi kaca.

Maka aku percaya, jendela adalah altar kecil rindu di rumah. Dari sanalah kita belajar memandang dunia yang bergerak, sementara hati diam menahan nama yang sama berulang-ulang. Jendela tidak pernah berjanji akan mempertemukan kita dengan yang kita rindukan. Ia hanya memberi pandangan, memberi harapan samar, memberi ruang bagi rindu untuk menempel di kaca, seperti embun yang tak bisa diseka.