Malam itu, udara masih menyimpan sisa hangat siang yang panjang. Lampu jalan berpendar redup, seperti lilin yang enggan padam. Di tengah gelap yang ramah itu, Iliana berdiri dengan piyama kuningnya yang penuh gambar zebra. Senyumnya kecil, sederhana, tapi cukup untuk mengalahkan dingin malam. Di tangannya tergantung sebungkus roti hangat, masih berembun aroma tepung dan margarin dari pabrik kecil di dekat rumah.
Aku menyukai momen seperti ini: perjalanan singkat ke pabrik roti. Jaraknya memang hanya beberapa langkah, tapi rasanya seperti sebuah ekspedisi besar bagi Iliana. Ia berjalan pelan-pelan, sandal jepitnya beradu dengan aspal yang retak, seperti irama sederhana yang hanya kami yang bisa pahami. Aku melihatnya, dan entah mengapa, wajah polosnya membuat semua hal yang rumit di kepalaku luruh begitu saja.
Anak kecil memang punya caranya sendiri untuk menyingkap kebahagiaan. Baginya, roti dalam plastik bening itu bukan sekadar makanan. Itu hadiah, itu cerita, itu petualangan. Saat ia menoleh dan tersenyum kepadaku, aku tahu di balik senyumnya tersimpan rasa bangga, bangga karena telah membawa pulang sesuatu yang berarti untuk rumah kecil kami. Dan aku pun ikut bangga.
Di malam yang biasa itu, aku kembali belajar sesuatu yang luar biasa: betapa sederhana hidup bisa terasa indah. Dari pijakan kecil sandal jepit, dari sepotong roti hangat, dari tawa mungil seorang anak bernama Iliana. Hidup, ternyata, tidak selalu menunggu datangnya hal besar. Kadang, ia hanya perlu sebungkus roti dari pabrik di dekat rumah, dan senyum seorang anak yang mengubah segalanya menjadi puisi.