Ruang Tunggu Keberangkatan


Tempat itu, dalam bayanganku, ibarat sebuah ruang tunggu keberangkatan yang tenang. Ada kursi-kursi panjang, ada cahaya temaram yang bukan suram, melainkan lembut seperti senja yang menutup hari dengan damai. Aku percaya, ini adalah awal perjalanan, pintu pertama menuju keabadian. Di sana, manusia menunggu giliran dipanggil, yang hanya Tuhan yang tahu waktunya. Bukan ruang tunggu bandara yang sibuk, melainkan sebuah ruang hening, penuh rahasia, tempat rindu yang sudah tidak bisa dipertemukan di dunia, tapi belum benar-benar terpisah.

Aku membayangkan Mbah Sastro duduk bersahaja di kursi kayu, batiknya rapi, mengunyah tembakau favoritnya, wajahnya berseri karena amal baik yang dulu pernah ia semai. Budhe Yati tersenyum sembari menyiapkan Es Cao, bercengkerama dengan para malaikat yang mendekat penasaran. Lek Syafak dengan wajah teduh sedang berbagi cerita menarik secara antusias, hal yang sangat sering ia lakukan kepada kami. Mas Aan berwajah ramah siap mendengarkan siapa saja yang ingin berbagi cerita. Mas Eko sedang membaca buku biografi Carl Friedrich Gauss, bahkan disana pun aku masih membayangkan dia se rajin itu. Mereka seakan sedang menunggu keberangkatan bersama-sama, wajahnya lega, tanpa keluh, karena dalam janji Tuhan, kubur bagi orang beriman bisa jadi taman kecil dari taman surga.

Tempat itu bergantung pada amal, pada iman, pada doa-doa yang dikirimkan dari kita yang masih hidup. Maka aku membayangkan ruang tunggu itu tak gelap, sebab doa anak cucu, sahabat, kerabat, telah menjadi cahaya yang menyalakan lampu-lampu di sudut-sudutnya. Mereka yang ku sayangi tidak sendirian, karena malaikat Rahmat hadir menemani, karena janji Tuhan bahwa siapa pun yang wafat dengan kalimat lâ ilâha illallâh akan mendapat kemuliaan, telah menjadi penghiburan di ruang tunggu itu.

Lalu, aku belajar untuk tidak bersedih seberat apapun hidup, benar kata Ferry Irwandi, mati itu mudah, hidup itu sulit. Jika di dunia aku sering menunggu keberangkatan kereta atau kapal dengan perasaan campur aduk, di alam kubur pun mereka sedang menunggu, hanya saja dengan hati yang lebih tenteram. Sementara aku masih di sini, menata hidup, menyiapkan tiketku sendiri, aku ingin yakin bahwa mereka sedang bahagia di ruang tunggu itu. Dan ketika kelak tiba giliranku, semoga aku pun disambut di ruang yang sama, di mana wajah-wajah yang kurindu tersenyum menyambut, lalu bersama-sama berangkat menuju janji Tuhan yang abadi.