Pagi itu, di jalan Slamet Riyadi yang telah ditutup bagi kendaraan bermotor, aku berjalan di antara manusia yang berbondong-bondong. Langkah kaki mereka seakan melukis irama baru di atas aspal yang biasanya dipenuhi deru mesin. Udara masih segar, bercampur embun pagi, jajanan pasar, dan aroma pohon yang menua di pinggir jalan. Di kejauhan, sebuah menara menjulang, tinggi, dingin, seperti saksi bisu dari segala yang datang dan pergi di kota ini.
Aku melihat wajah-wajah orang: seorang ibu menuntun anaknya yang baru belajar bersepeda, sekumpulan pemuda bercanda sambil berlari kecil, dan seorang lelaki tua berjalan dengan tenang, matanya tertuju ke tanah seakan setiap retakan aspal adalah lembaran kitab yang harus ia baca perlahan.
Di sisi jalan, tenda-tenda berdiri. Ada yang menjajakan minuman segar, ada yang menawarkan informasi kesehatan. Aku memperhatikan selembar poster yang diterpa angin, bergetar seakan ia pun ikut hidup, ikut bernafas dalam denyut pagi ini.
Aku merasa seolah-olah setiap orang yang melintas bukanlah orang asing. Mereka semua adalah bagian dari suatu kehidupan yang lebih luas, kehidupan yang tak dapat diukur dengan hitungan langkah atau panjang jalan. Mereka adalah cermin diriku, sebagaimana aku adalah cermin mereka. Seorang pesepeda melewati aku dengan senyum ringan, dan dalam senyum itu aku melihat sekilas makna sederhana: kebersamaan yang tak perlu disepakati, hanya dirasakan.
Dan aku pun bertanya pada diriku sendiri, sebagaimana sering aku lakukan di saat-saat semacam ini: apakah hidup hanyalah serangkaian pertemuan singkat di jalan yang terus berubah? Ataukah, justru dalam keramaian inilah aku menemukan kebenaran, bahwa manusia diciptakan bukan untuk berjalan sendiri, melainkan untuk berjalan berdampingan, meski hanya sejenak, di bawah langit yang sama?