Solo Voice


Aku masih ingat sore itu, 28 September 2025. Langit Solo seperti dilapisi kapas tipis yang lembut, dedaunan bergoyang pelan, dan aroma kopi Jawa menyeruak dari sudut rumah tua beratap genteng yang menghitam dimakan usia. Kami berkumpul di halaman, sebuah keluarga besar yang lahir bukan dari darah, melainkan dari nada-nada yang menolak padam.

Namanya Solo Voice. Sebuah tempat yang sederhana, tapi penuh dengan makna. Di sana, tak ada yang bertanya kau siapa, agamamu apa, atau darimana asalmu. Yang ada hanya satu keyakinan: semua orang bisa bernyanyi. Everyone can sing. Bahkan suara paling serak pun, bila dinyanyikan dengan hati, bisa terdengar lebih indah dari emas.

Aku duduk di barisan tengah, diapit teman-teman yang baru kukenal hari itu, tapi terasa seperti sudah lama menjadi saudara. Ada yang malu-malu memegang kertas lirik, ada yang tertawa sambil menyembunyikan rasa gugupnya, ada pula yang menatap kosong, mungkin menyimpan cerita luka yang ingin ia sembuhkan lewat lagu. Di antara kami, tak ada yang merasa lebih, tak ada yang merasa kurang. Kami sama-sama sedang mencari ruang untuk bernapas.

Ketika suara-suara itu bergabung, saat bait pertama dinyanyikan, aku merasakan sesuatu yang sulit kujelaskan. Seolah-olah kepingan-kepingan hatiku yang tercerai-berai selama ini dirangkai kembali oleh harmoni sederhana itu. Lagu-lagu yang kami pilih bukan sekadar untaian kata, melainkan doa, tawa, bahkan tangisan yang kami nyanyikan bersama.

Aku teringat kata-kata ini: “Kami ingin setiap orang merasa diterima tanpa harus takut dihakimi.” Dan memang begitulah adanya. Di halaman kecil itu, aku menemukan kebahagiaan sederhana: suara-suara yang mungkin sumbang, tapi tulus. Dan bukankah ketulusan adalah nada paling merdu di dunia?

Hari itu, aku pulang dengan hati yang lebih ringan. Di jalan, aku berpikir, mungkin dunia tak akan pernah sempurna. Tapi jika ada tempat seperti Solo Voice, di mana orang-orang bernyanyi untuk menyembuhkan diri dan satu sama lain, maka barangkali dunia masih bisa terdengar indah.