Keesokan harinya, sepulang kerja, aku menemukan surga kecil yang sudah menunggu di depan pintu. Iliana. Dengan mata bundarnya yang bersinar, ia langsung meraihku, dan sejak itu ia tak mau lepas dari gendonganku. Seolah tubuhku adalah rumah yang sudah lama ia rindukan, tempat paling aman di dunia.
Kami berjalan pelan menuju halaman, langit Colomadu sore itu biru, luas, dan di sana, ada layang-layang yang menari. Iliana menunjuk ke atas, matanya berbinar, bibir mungilnya menyebut, “Bapak, lihat… terbang!” Suaranya adalah musik, dan setiap katanya adalah bait puisi yang jatuh dari langit.
Aku mendongak bersama dia. Layang-layang itu melayang jauh, tapi aku tahu, bagi Iliana, ia tidak sekadar mainan di langit. Layang-layang itu adalah lambang kebebasan, sekaligus harapan. Dan aku, sambil mendekapnya erat, berdoa dalam hati: semoga hidupnya kelak seluas langit ini, semeriah warna layang-layang itu, dan selalu kembali pulang ke rumah yang sederhana, ke pelukan bapaknya. Hari itu, rindu sekali lagi tidak sempat hadir. Karena Iliana telah menempati seluruh ruangnya.
