Pohon-pohon angsana berjejer rapi di sisi jalan, seolah menyambutku dengan lambaian daunnya yang rimbun. Semilir angin sore membelai wajah, menerbangkan gerah yang menempel sejak tadi pagi. Pedal sepedaku terus kuputar, mengayuh semangat yang bergelora. Hari ini aku ingin menjelajahi kota ini, menyusuri setiap lorongnya yang menyimpan cerita. Jantungku berdebar kencang, bagai genderang yang ditabuh. Aku ingin melupakan sejenak beban yang bergelayut di pundakku, lari dari kenyataan yang terasa pahit.
Namun, kebahagiaanku tak bertahan lama. Dari kejauhan, aku melihatnya. Polisi tidur! Sialan, kenapa harus ada benda laknat itu di setiap jalan yang kujumpai? Benda itu, yang katanya dibuat untuk menjaga keselamatan, bagiku lebih mirip monster yang siap menelan siapa saja yang lengah. Setiap kali sepedaku melintasinya, aku merasa seperti ditinju oleh petinju kelas berat. Goncangannya begitu kuat, hampir membuatku kehilangan kendali. Aku benci polisi tidur. Sangat benci.
Aku bertanya-tanya, apakah pembuatnya tidak punya hati? Apakah mereka tidak tahu rasanya menjadi diriku, yang setiap hari harus berjibaku dengan tantangan hidup yang tak ada habisnya, dan kini harus menghadapi tantangan baru bernama polisi tidur? Aku mengutuk mereka dalam hati, berharap agar mereka merasakan hal yang sama denganku. Aku ingin mereka tahu, betapa sakitnya hati ini, betapa lelahnya diriku, dan betapa muaknya aku pada semua hal yang menghalangi jalanku.
Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah. Aku harus terus melaju, mengabaikan rasa sakit yang menggerogoti. Aku harus melewati semua rintangan yang ada, termasuk polisi tidur yang terkutuk itu. Aku tahu, jalan yang terbentang di depanku tidak akan mudah. Namun, aku juga tahu, aku tidak bisa menyerah. Aku harus terus maju, mengayuh sepedaku, mencari ujung jalan yang tidak ada polisi tidurnya, sampai aku menemukan kedamaian yang kucari selama ini.