Udara di dalam Pasar Gedhe Surakarta terasa lengket seperti madu yang dilupakan di teras rumah, dan aku ada di sana, di tengah kerumunan yang bernyanyi, memegang bundar merah jambu di telapak tangan, sekeping janji yang bernama "Solo Voice" menari di bawah lirik.
Aku tidak pernah tahu mengapa aku ikut, mungkin karena kesendirianku telah mencapai usia kematangan yang menyedihkan, menjadikanku mencari paduan suara untuk menenggelamkan bisikan tak berkesudahan di kepala.
Panggung itu memanggilku dengan kejam, dan di sela-sela dentingan piano yang terasa seperti lonceng gereja di hari Minggu pagi, tiba-tiba terdengar Gala Bunga Matahari, lagu Sal Priadi yang kutahu, sejak kelahiran pertama nada pertamanya, ditakdirkan untuk tak pernah selesai di tenggorokanku.
Saat lirik tentang bunga matahari yang mekar tiba-tiba itu mulai mengalir, sebuah adegan tua dari masa lalu menyeruak dalam diriku, seolah pintu lemari tua yang telah lama terkunci dibuka paksa oleh tangan tak terlihat. Aku teringat pada suatu pagi yang penuh kabut. Lagu itu muncul dari ingatan seseorang yang kukasihi dan kini ia ada di "tempat yang baru" di mana sungai-sungai mengalirkan susu.
Setiap suku kata yang dinyanyikan penyanyi lain terasa seperti pasir yang jatuh dari jam pasir yang tak terhindarkan, mengingatkanku bahwa kesedihan memiliki sifat abadi, tidak seperti benda-benda fana seperti bundar merah jambu di tanganku ini.
Aku hanya mampu berdiri mematung, meremas benda itu hingga urat-urat di tanganku menonjol seperti akar pohon, dan membiarkan air mata yang kunanti selama bertahun-tahun akhirnya menetes, bercampur dengan keringat lengket sore itu, menjadi sebuah sungai kecil yang mengalir di pipiku.
Aku tahu, jika aku mencoba menyanyikan satu kata saja, aku akan menjadi lelaki yang menangis tanpa henti hingga air mataku membentuk lautan kecil di lantai pasar, di mana para pedagang buah akan menjadikanku legenda menyedihkan yang tak pernah selesai di Solo.