Beli Bubur


Pagi ini aku mengajak Iliana, anakku, membeli bubur di ujung gang. Udara masih lembut, dan jalanan basah sisa hujan semalam. Ia berjalan di depanku dengan langkah kecil yang riang, mengenakan kaus cokelat dan celana merah muda yang kontras dengan abu-abu aspal. Di tangannya tergenggam mainan kecil berwarna pink, seolah itu benda paling penting di dunia. Aku memperhatikannya sambil tersenyum, mencoba menangkap setiap detik kecil yang terasa begitu berharga.

Iliana tertawa sepanjang jalan, tertawa tanpa alasan yang kupahami. Kadang ia berhenti hanya untuk menunjuk bunga di pot tetangga atau melihat semut yang melintas. Dunia di matanya tampak begitu luas, begitu baru, dan begitu penuh keajaiban. Aku berjalan di belakangnya sambil berpikir, betapa mudahnya bahagia di usia sekecil itu. Tidak ada yang ditunggu, tidak ada yang dikhawatirkan, hanya pagi yang segar dan semangkuk bubur yang sebentar lagi akan ia nikmati.

Sesampainya di penjual bubur, ia menatap penjual bubur dengan mata berbinar. Aku membelikannya satu porsi, dan ia segera memegang sendoknya dengan semangat. Di momen itu, aku merasa hidup sedang memberiku hadiah kecil yang sederhana tapi sempurna. Di tengah segala kesibukan dan rencana besar yang sering membuatku lupa, Iliana mengingatkanku bahwa kebahagiaan sejati kadang hanya tentang berjalan pagi bersama orang yang kau cintai, menuju bubur hangat di ujung jalan.