Bertemu Para Panutan



Aku bertemu dengannya pertama kali bukan di kedai kopi, tapi di tengah riuh acara Kumpul Taxmin 2025. Ia mengenakan kaus merah sederhana, tapi auranya hangat seperti uap kopi yang baru diseduh. Di matanya, aku melihat ketenangan seorang peracik rasa yang paham betul bahwa setiap teguk kopi menyimpan perjalanan panjang, dari tanah yang subur hingga hati yang terbuka. Aku menyalaminya, dan entah mengapa, seolah yang kutemui bukan sekadar seorang barista, tapi penulis kisah yang menetes pelan dalam setiap cangkirnya.

Farchan, begitu ia memperkenalkan diri, sering berbicara tentang kopi seperti orang lain membicarakan puisi. Aku pernah mendengarnya bercerita dengan lembut tentang “Magic,” tentang bagaimana kopi bisa menjadi jembatan antara rasa dan kenangan. Setiap kalimatnya membuatku berpikir bahwa hidup, mungkin, adalah serangkaian ekstraksi yang harus sabar dijalani: ada yang pahit, ada yang kuat, ada pula yang tiba-tiba manis di ujung lidah. Ia bukan sekadar pemilik kedai, melainkan perangkai makna yang memandang biji kopi seperti manusia: harus dikenali, dihargai, dan diracik dengan cinta.

Saat kami berfoto bersama, aku merasa seperti sedang mengabadikan lebih dari sekadar momen. Itu adalah potret kecil tentang semangat yang tak bisa dibeli: tentang kerja keras, kolaborasi, dan cinta yang tumbuh dari aroma sederhana bernama kopi. Di antara senyum lebar dan cahaya lampu ruangan, aku tahu, lelaki berbaju merah di sebelahku adalah sosok yang menjadikan kopi bukan sekadar minuman, melainkan cara untuk memahami hidup yang hangat dan penuh rasa.

Ada sesuatu dari caranya memandang dunia yang menular, ketenangan yang lahir dari keyakinan bahwa hal-hal kecil pun bisa bermakna besar jika dikerjakan dengan hati. Ia mengajarkanku bahwa secangkir kopi tidak pernah benar-benar tentang kopi, melainkan tentang manusia di baliknya: tentang mereka yang menggiling, menyeduh, dan tersenyum sambil menunggu rasa menemukan takdirnya. Dan mungkin, begitulah hidup seharusnya dinikmati, perlahan, hangat, dan penuh syukur.

Namun kebahagiaanku tidak berhenti di situ. Di tengah ramainya acara, aku juga berkesempatan bertemu dua sosok lain yang diam-diam sudah lama kukagumi. Mas Rahmatullah Barkat, orang di balik kanal Telegram Surabaya Rungkut yang penuh semangat menyebarkan ilmu perpajakan dengan gaya yang sederhana. Wajahnya ramah, matanya tajam, dan setiap katanya terasa seperti pelajaran yang ingin diingat lama-lama. Lalu ada Mas Angga Sukma Daniswara, yang konten-kontennya tentang pajak menjelajah ke segala penjuru dunia maya, membuat topik yang sering dianggap rumit itu jadi terasa dekat dan manusiawi.

Ketiganya, meski datang dari dunia yang berbeda, kopi, edukasi, dan digital, memiliki satu benang merah: mereka berbagi sesuatu yang mereka cintai dengan sepenuh hati. Di hadapan mereka aku merasa kecil, tapi juga beruntung. Aku belajar bahwa pengetahuan tak selalu harus diajarkan dari podium; kadang ia mengalir dari senyum, dari percakapan ringan, dari kesediaan berbagi tanpa pamrih. Mereka membuatku percaya bahwa menjadi inspirasi bukan tentang popularitas, melainkan tentang ketulusan yang konsisten.

Saat sore mulai datang, kami sempat berfoto bersama. Tak ada pencahayaan khusus, tak ada pose yang diatur rapi, hanya tawa yang tulus dan rasa syukur yang mengalir pelan. Dalam satu frame itu, ada semangat manusia yang tak pernah lelah belajar. Dan aku tahu, di antara semua kenangan yang kubawa pulang hari itu, yang paling berharga bukanlah foto-fotonya, melainkan keyakinan baru: bahwa ilmu, seberapa rumit pun bentuknya, akan selalu menemukan jalannya menuju hati yang terbuka.