Malam itu, di dalam bus yang perlahan meninggalkan kota, Iliana duduk di samping jendela dengan mata yang berbinar, menatap lampu-lampu jalan seperti menatap bintang yang turun ke bumi. Ini adalah perjalanan jarak jauh pertamanya, dan aku bisa merasakan debar kecil dalam dadanya, campuran antara kagum dan heran. Tangannya menempel di kaca yang dingin, sesekali ia menoleh padaku, lalu tersenyum, seolah ingin memastikan bahwa dunia di luar sana memang benar-benar ada.
Aku memandangnya lama, mencoba merekam setiap gerak kecil. Ada sesuatu yang menggetarkan ketika melihat anak kecil mengenal dunia lewat jendela bus malam. Aku teringat perjalanan pertamaku dulu, betapa aku pun pernah menatap gelapnya jalan dengan rasa ingin tahu yang sama. Kini aku ada di sisi lain, menjadi orang yang menjaga, yang diam-diam berdoa agar setiap perjalanan Iliana kelak selalu dipenuhi cahaya seperti malam ini.
Bus terus melaju, menembus jalan basah dan sunyi. Di luar, kota perlahan hilang di balik bayangan pohon dan lampu yang berlari mundur. Iliana mulai mengantuk, tapi matanya masih berusaha melawan kantuk, takut melewatkan keajaiban kecil yang mungkin muncul di tengah malam. Aku tersenyum dan membetulkan selimutnya, lalu berbisik pelan di telinganya, bahwa perjalanan ini baru permulaan, dan dunia di luar jendela itu terlalu indah untuk ditakuti.