Iliana Pagi Itu


Pagi itu, Nana mengirimkan sebuah foto lewat WhatsApp. Aku membuka pesan itu sambil meneguk teh yang sudah mulai dingin. Di layar, kulihat anakku duduk di atas kasur, memakai baju merah cerah dengan motif yang lucu. Rambutnya sedikit acak-acakan, di tangannya ada sesuatu yang ia pegang seperti benda paling berharga di dunia. Matanya menatap lurus ke kamera, seolah tahu bahwa aku sedang melihatnya dari jauh.

Aku menatap foto itu lama sekali. Ada rasa hangat yang mengalir pelan, seperti cahaya pagi yang menembus jendela kamar di belakangnya. Dunia di sekitarku tiba-tiba terasa lebih tenang. Aku membayangkan suara kecilnya, tawa yang sering memantul di dinding rumah, dan cara ia memanggil namaku dengan nada yang belum sempurna tapi selalu berhasil meluluhkan segalanya.

Aku tak mengetik balasan untuk Nana. Karena di detik itu, aku hanya ingin menikmati rasa rindu yang manis ini. Foto sederhana itu menjadi pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu hadir dalam hal besar. Kadang ia datang lewat sebuah pesan di pagi hari, lewat gambar anak kecil yang tersenyum polos, dan lewat cinta yang tak pernah benar-benar pergi, meski sedang berjauhan.