Aku bertemu Julian di tengah riuh rendah musik resepsi yang lembut dan cahaya lampu yang berpendar keemasan. Suasana itu seperti lembaran dari novel lama, hangat, penuh tawa, dan sedikit getir oleh waktu yang melaju tanpa kami sadari. Di antara aroma bakso dan sate ayam, kami saling tersenyum kikuk sebelum akhirnya menyalami satu sama lain. Ternyata, orang yang selama ini hanya kukenal lewat notifikasi WhatsApp, dengan pesan singkat, benar-benar ada di dunia nyata, lengkap dengan tawa yang lebar dan mata yang berpendar jujur.
Julian tidak berubah dari bayanganku selama ini. Ia berbicara dengan nada tenang tapi mantap, seperti seseorang yang tahu ke mana langkahnya harus pergi. Aku teringat berapa kali ia menolongku lewat chat, menyelesaikan hal-hal rumit dengan kesabaran yang seperti tak bertepi. Di acara ini, di antara gemerincing piring dan denting gelas, aku melihat sisi lain dari dirinya, sosok yang sederhana tapi penuh daya. Dan dalam senyumnya, aku tahu, inilah bentuk nyata dari komitmen dan kerja keras yang selama ini hanya kuterka dari kata-kata.
Kami pun berpose jempol purbaya, pose yang sering diperagakan oleh menteri keuangan kami yang baru, dengan semangat yang entah mengapa terasa murni sekaligus tulus. Jempol itu seakan menjadi simbol kecil dari rasa syukur, atas pertemuan, atas kerja keras, atas waktu yang mempertemukan dua garis hidup yang sebelumnya hanya sejajar di dunia maya. Saat lampu mulai redup dan musik berganti pelan, aku berpikir: betapa ajaibnya dunia ini, mempertemukan dua orang asing di ruang digital, lalu menjadikan mereka teman yang nyata di dunia yang penuh cahaya seperti hari itu.