Pagi itu, aku menatap sepeda yang baru saja selesai kuperbaiki. Derailer-nya kini terpasang rapi, rantainya kembali, dan roda belakang berputar dengan suara kecil yang menenangkan. Ada kepuasan aneh di dadaku, seperti melihat sahabat lama yang akhirnya bisa tersenyum lagi setelah lama tertunduk. Aku ingat betul semalam aku hampir menyerah, tapi pagi ini semua jerih payah itu terbayar lunas. Matahari pun seolah ikut tersenyum pada kami berdua.
Aku mengelus rangka sepeda itu perlahan, terasa dingin tapi penuh kenangan. Di setiap goresan cat yang pudar, ada jejak perjalanan yang dulu kulalui, dari jalan becek menuju kantor sampai tanjakan panjang menuju rumah. Sepeda ini bukan sekadar alat untuk berpindah tempat, tapi saksi hidup dari setiap kegigihan kecil yang dulu sering aku lupakan. Kini, dengan derailer yang kembali bekerja, aku merasa seperti bisa menaklukkan dunia, meski hanya satu kayuhan kecil pada satu pagi yang tenang.
Aku mengayuh perlahan di jalan depan rumah, merasakan angin menampar lembut wajahku. Setiap klik pada gir belakang terdengar seperti melodi masa lalu yang kembali hidup. Aku tahu, perjalanan belum tentu mulus, tapi bukankah hidup juga begitu? Kadang kita jatuh, lalu memperbaiki diri, hingga akhirnya bisa melaju lagi. Dan pagi itu, di atas sadel sepeda dengan derailer yang baru terpasang, aku belajar satu hal sederhana, bahwa bahagia ternyata bisa sesederhana rantai yang kembali pada tempatnya.