Kota Tua Jakarta


Sore ini aku berjalan-jalan ke Kota Tua Jakarta. Langit biru mulai beranjak ke jingga muda, dan udara di alun-alun itu membawa aroma masa lalu yang lembut. Di hadapanku berdiri bangunan tua berwarna putih dengan atap merah, Museum Fatahillah, yang dulu menjadi Balai Kota Batavia. Aku berdiri lama menatapnya, membayangkan derap langkah para serdadu, dentang lonceng tua, dan suara pedagang yang saling tawar-menawar di masa lalu. Waktu terasa seperti melambat, seakan ingin memberiku kesempatan untuk mendengar bisikan sejarah yang masih tinggal di dinding-dinding tua itu.

Di sekelilingku, orang-orang duduk santai di atas batu-batu besar yang telah menjadi saksi begitu banyak kisah. Anak-anak berlarian, para fotografer sibuk mencari cahaya terbaik, dan pedagang kaki lima menawarkan minuman dingin. Aku berpikir, betapa anehnya, tempat yang dulu menjadi pusat kekuasaan dan bahkan tempat eksekusi, kini menjadi ruang untuk tertawa dan beristirahat. Sejarah memang lucu, ia bisa berubah wajah tanpa kehilangan suaranya.

Ketika senja semakin turun, lampu-lampu mulai menyala dan bayangan bangunan memanjang di atas batu. Aku menatapnya sekali lagi, merasa seolah sedang berbicara dengan masa lalu yang diam tapi penuh cerita. Kota ini telah menanggung begitu banyak luka, tapi sore itu aku melihatnya tersenyum lembut. Mungkin begitulah Jakarta yang sesungguhnya, sebuah kota yang terus berjalan di antara kenangan dan harapan, tanpa pernah benar-benar berhenti.

Aku melangkah pelan menyusuri pelataran batu yang dingin, mendengar gema langkahku bersahut dengan suara musik jalanan di kejauhan. Ada sekelompok anak muda memainkan gitar dan cajon, menyanyikan lagu-lagu lama dengan semangat yang membuat suasana semakin hidup. Aku berhenti sejenak, menikmati harmoni sederhana itu. Di belakang mereka, siluet menara kecil di puncak museum berdiri gagah, seperti menatap masa depan sambil menjaga rahasia masa lalu. Di tempat ini, setiap suara terasa seperti bagian dari sejarah yang tidak tertulis, tapi bisa dirasakan oleh siapa pun yang berhenti sejenak untuk mendengarkan.

Aku kemudian duduk di tepi taman, memandangi langit yang berubah warna menjadi biru tua dengan semburat oranye terakhir di ujungnya. Angin membawa aroma laut dari utara, bercampur dengan bau manis kopi dari kedai kecil di pinggir jalan. Ada rasa tenang yang jarang kutemui di tengah hiruk-pikuk kota ini. Mungkin karena di sini, waktu seperti memberi ruang bagi setiap orang untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Di antara lampu-lampu kuning yang mulai menyala, aku merasa Jakarta malam ini begitu lembut, seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya setelah hari yang panjang.

Ketika aku akhirnya beranjak pergi, Museum Fatahillah berdiri di belakangku dalam cahaya malam yang temaram. Aku menoleh sekali lagi, merasa seolah tempat itu melambaikan perpisahan tanpa kata. Dalam hati aku berjanji akan kembali suatu hari nanti, bukan hanya untuk melihat bangunannya, tapi untuk mendengar lagi kisah yang disimpannya di antara batu-batu tua dan jendela kayu. Kota Tua Jakarta sore ini mengajariku satu hal sederhana, bahwa meski waktu terus berjalan, ada tempat-tempat yang menyimpan keabadian, cukup bagi siapa pun yang mau berhenti dan merasakannya.