Melamun Melihat Pohon


Aku berdiri di bawah pohon itu, dan rasanya waktu menahan napasnya. Cahaya pucat dari lampu jalan menembus dedaunan muda, seperti rahasia yang enggan terbuka sepenuhnya. Langit di atas berwarna aneh, antara senja dan pagi, seolah dunia lupa sedang berada di sisi mana dari hari. Aku mendengar desir halus angin yang membawa aroma tanah basah dan kenangan lama yang belum selesai. Dalam sekejap, aku merasa setiap daun di pohon itu tahu sesuatu yang tidak kuketahui tentang masa depan.

Di sela-sela ranting, cahaya kecil muncul seperti mata yang diam-diam mengamati bumi. Aku menatapnya lama, mencoba mengingat di mana aku pernah melihat sorot seaneh itu. Barangkali itu hanya bintang, barangkali roh seseorang yang tersesat di antara langit dan listrik, mencari rumahnya sendiri. Di kampungku dulu, orang percaya bahwa malam yang tampak seperti siang adalah tanda dunia sedang memikirkan kembali takdirnya. Aku tidak tahu apakah malam ini sedang berpikir tentangku, atau hanya mempermainkan pandanganku dengan lembut seperti kekasih lama yang enggan melepaskan tangan.

Ketika angin kembali bergerak, daun-daun bergetar seolah sedang berdoa. Aku merasa sepi namun tidak kesepian, karena langit, pohon, dan cahaya tampak bersekongkol untuk menahanku di sana sedikit lebih lama. Di dalam keheningan itu, aku hampir bisa mendengar detak bumi sendiri, perlahan dan penuh rahasia. Lalu aku sadar, setiap malam seperti ini hanyalah cara alam menulis surat cinta kepada siapa pun yang masih sudi mendengarkan.