Aku masih ingat malam ketika buku itu tiba di tanganku. Udara agak lembap, seperti sisa hujan yang enggan pergi, dan di bawah cahaya lampu halaman yang kuning pudar aku menatap sampulnya: Membangun Rumah di Bawah Tanah, tulisan Ahmad Dahlan. Huruf-hurufnya tampak sederhana, tapi ada sesuatu dalam kesunyian desainnya yang seperti mengandung rahasia yang belum terucap.
Buku itu bukan milikku. Mbak Hangga yang meminjamkannya, seolah tahu aku akan menemukan sesuatu di antara halamannya. Ia tidak menjelaskan apa pun, dan aku tidak bertanya.
Aku mengenal Pak Ahmad Dahlan dari lokakarya beberapa waktu lalu. Kami duduk di meja yang sama, berbagi percakapan pendek tentang tulisan. Ia berbicara dengan tenang, seperti orang yang sudah lama berdamai dengan dunia, namun di balik matanya ada semacam bara kecil yang tidak pernah padam. Waktu itu aku tidak tahu bahwa bara itu akan menyalakan sesuatu juga dalam diriku.
Kini, sambil berdiri di depan pagar rumah, aku memegang bukunya seperti memegang surat dari masa lalu. Malam terasa lengang, hanya ada desau angin dan bayangan pepohonan yang bergerak pelan di dinding kayu. Aku membayangkan rumah di bawah tanah itu, tempat seseorang menulis kalimat demi kalimat sambil mendengarkan detak bumi sendiri.
Barangkali, pikirku, buku ini bukan tentang rumah sama sekali. Mungkin tentang tempat di dalam diri yang tidak pernah disinggahi siapa pun kecuali kita sendiri. Aku membuka halaman pertama, dan bau kertas tua bercampur lembap malam menyergap seperti kenangan yang datang tanpa diundang. Saat itu aku tahu, bahkan sebelum membaca satu kalimat pun, bahwa buku ini tidak akan sekadar kubaca. Ia akan menjadi sesuatu yang tinggal, seperti gema yang terus berulang lama setelah suara berhenti.
