Sore itu aku dan Iliana, anakku, berdiri di tepi ladang yang baru saja menelan cahaya matahari terakhir. Langit terbentang seperti lembaran sutra biru yang lembut, beriak halus oleh bayang awan yang seolah menyimpan rahasia masa lalu. Di kejauhan, dua gunung muncul seperti penjaga waktu, diam dan abadi, menyaksikan segala yang lahir dan lenyap di bawah kaki mereka. Aku merasakan angin datang membawa aroma tanah basah dan dedaunan muda, seolah seluruh dunia bernapas perlahan, menunggu sesuatu yang tak pernah benar-benar datang.
Iliana menatap ke arah gunung itu tanpa berkata apa-apa. Matanya, yang biasanya penuh tanya, sore itu seperti menampung seluruh cahaya yang tersisa. Aku tahu ia sedang mencoba memahami sesuatu yang bahkan aku sendiri tak bisa menguraikan, mungkin tentang keheningan yang tumbuh di antara kami, atau tentang cara langit merunduk menyentuh bumi tanpa pernah benar-benar menyentuhnya. Di balik suara jangkrik dan desir padi, ada keabadian kecil yang menggantung di udara, rapuh seperti embun pertama di pagi hari.
Kami berdiri cukup lama hingga warna biru di langit berubah menjadi abu lembut. Rumah-rumah di pinggir ladang menyalakan lampu, satu per satu, seperti bintang yang lahir di bumi. Aku memegang tangan Iliana dan merasakan denyutnya yang hangat, mengingatkanku bahwa waktu, betapapun diamnya, tetap bergerak. Dalam keheningan itu aku merasa dunia berputar lebih lambat, seolah sore itu ingin bertahan sedikit lebih lama, hanya agar aku bisa melihat sekali lagi bagaimana cahaya terakhir menyentuh wajah anakku.
