Siang itu matahari menggantung tepat di atas kepala, menumpahkan cahaya yang kejam di jalan sempit di samping kantorku. Udara begitu panas sampai-sampai bayangan gerobak biru Mas Kirmun tampak bergetar di aspal. Catnya yang mengelupas dan kusam justru tampak indah di bawah sinar yang menyilaukan, seperti tuaian waktu yang jujur. Di balik gerobak itu, Mas Kirmun berdiri, tangannya lincah mengaduk mie di panci besar yang berdesis pelan. Terdengar suara denting sendok, aroma ayam rebus, dan suara kendaraan yang berlalu tanpa peduli.
Aku sering mampir ke sana di jam istirahat, mencari teduh di bawah atap seng kecil gerobak itu. Di sebelahnya, ada lemari kuning yang tampak seperti pernah terbakar matahari lebih lama dari siapa pun. Di atasnya tersusun botol saus, kerupuk, dan termos hijau yang sudah kehilangan kilaunya. Kadang aku duduk di bangku plastik hijau muda yang goyah, menunggu mangkuk mie ayamku disajikan sambil menatap dinding kusam di belakangnAya yang dihiasi kabel kusut dan noda lembap. Semua tampak sederhana, tetapi entah mengapa, setiap detilnya seperti menyimpan cerita kecil yang tidak pernah selesai ditulis.
Saat kuah hangat itu sampai di depanku, wangi minyak bawang dan kaldu ayam memenuhi udara. Keringat di pelipisku seolah dibayar lunas oleh setiap suapan. Mas Kirmun menatapku sebentar, lalu tersenyum, senyum yang sederhana namun sarat arti, seolah berkata: “hidup tak selalu mudah, tapi selalu ada rasa yang bisa kita syukuri.” Di tengah panas, kebisingan, dan dinding tua yang mengelupas itu, aku merasa tenang. Siang di samping gerobak biru Mas Kirmun bukan hanya jeda dari pekerjaan, melainkan tempat kecil di mana waktu berhenti sebentar agar hidup terasa lebih hangat.