Omegesic dan Piroxicam


Di telapak tanganku tergeletak dua bungkus obat, satu berwarna hijau, satu lagi perak. Keduanya tampak biasa saja, tapi entah mengapa terasa seperti simbol kecil dari pertarungan panjang antara tubuh dan waktu. Aku menatapnya lama, hidup yang dulu kujalani dengan penuh semangat kini sering berhenti sejenak di apotek, di ruang tunggu dokter, atau di genggaman tangan yang menggigil memegang resep.

Aku tertawa kecil mengingat masa yang penuh kesombongan, ketika tubuhku seolah tidak kenal lelah. Aku bisa berlari tanpa henti, bekerja sampai larut malam, bahkan makan sembarangan tanpa peduli. Kini, setiap kali tubuh protes, aku baru sadar bahwa kesehatan bukan hadiah, melainkan pinjaman yang harus dijaga dengan penuh hormat. Dua bungkus obat ini adalah pengingat, bahwa bahkan hal paling sederhana seperti bernapas tanpa rasa nyeri adalah anugerah yang luar biasa.

Aku menatap obat itu sekali lagi sebelum menelannya dengan air putih. Ada rasa getir yang tertinggal di lidah, tapi ada juga rasa syukur yang perlahan tumbuh di dada. Mungkin inilah caranya hidup mengajarkan kelembutan, bukan dengan hadiah, tapi dengan rasa sakit yang membuat kita lebih peka terhadap arti pulih. Dan pagi ini, ketika aku meneguk air terakhir dari gelas, aku tahu bahwa setiap pil yang kutelan bukan sekadar penyembuh, melainkan pengingat untuk terus bersyukur atas detak jantung yang masih setia bekerja.