Pagi itu aku mengayuh sepeda di jalan yang sunyi, diapit sawah yang masih berembun. Udara terasa jernih, membawa aroma padi muda dan tanah basah. Matahari belum tinggi, tapi sinarnya sudah menari di permukaan aspal yang retak-retak. Dari jauh, terdengar suara motor melintas, tapi segera lenyap ditelan keheningan yang lembut.
Aku melihat rumah berdinding seng di tepi jalan, berdiri teduh di bawah pohon yang condong ke arah barat. Ada tumpukan bambu di sampingnya, seolah menunggu seseorang untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Bayangan pohon itu jatuh di jalanku, menutupi roda sepeda yang berputar perlahan. Dalam detik-detik sederhana itu, aku merasa seperti sedang berbincang dengan waktu yang berjalan pelan, tanpa terburu-buru.
Hidup, pikirku, mungkin memang sesederhana ini. Mengayuh di bawah matahari pagi, mendengar rantai sepeda bernyanyi, dan membiarkan angin membawa segala resah. Tak perlu tergesa, tak perlu mencari arah yang terlalu jauh. Karena kadang, ketenangan justru ditemukan di jalan yang sepi, di antara sawah hijau dan cahaya yang jatuh dengan sabar di bahuku.
