Langit sore itu seperti wajah seseorang yang sedang menahan sesuatu, mungkin rindu, mungkin letih. Awan menggantung berat di atas kepala, berwarna abu dan jingga pucat, sementara lampu jalan satu per satu menyala, seolah berusaha menambal cahaya yang hilang. Aku berdiri di perempatan, menatap ke atas, dan entah kenapa merasa seperti sedang berada di antara dua dunia, dunia yang masih terang dan dunia yang sebentar lagi akan gelap. Di sela gemuruh kecil dari jauh, angin membawa aroma hujan yang belum turun.
Lampu merah menyala, dan mobil-mobil berhenti seperti sedang memberi waktu kepada langit untuk menenangkan diri. Aku berpikir, betapa sering hidup seperti ini, kita terjebak di tengah perlintasan, menunggu sesuatu yang tak pasti, tapi tetap berdiri karena percaya bahwa lampu hijau akan datang juga. Di atas sana, awan terus bergerak lambat, seperti pikiran yang tak mau berhenti mengingat. Dalam cahaya lampu yang temaram, kota terasa asing tapi akrab, seperti sahabat lama yang kini jarang disapa.
Ketika langit mulai benar-benar gelap, aku menatap ke arah cahaya terakhir yang tersisa di ufuk barat. Ada rasa tenang yang aneh di dada, seolah malam membawa pesan rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau berhenti sejenak dan menatap ke atas. Mungkin langit seperti ini hanyalah langit biasa, tapi malam itu, bagiku, ia adalah cermin yang memperlihatkan bagaimana manusia terus mencari arti di antara lampu-lampu jalan dan bayangan awan.