Perpisahan yang Disambut oleh Hujan



Orang lain menulis “hari ini hujan”,

tapi aku tidak,

aku akan menuliskan “Hari ini air turun seperti kenangan yang tak mau mati. Ia datang perlahan dari ufuk yang kelabu, mula-mula hanya kabut yang menggantung di antara pohon mangga dan atap seng, seolah langit sedang menahan napas sebelum menumpahkan seluruh kesedihannya. 

Lalu butir-butir air itu jatuh, satu per satu, dengan kesabaran seorang biarawati yang menyalakan lilin di altar yang sepi, tanah yang basah menyelinap ke dalam rumah-rumah, membawa bersama bisik-bisik dari para leluhur yang dulu juga pernah menunggu matahari yang tak kunjung datang.”

Orang lain menulis "ada pisah sambut pegawai"

tapi aku tidak,

aku akan menuliskan "Hari ini, di bawah langit yang terasa terlalu tenang untuk menandai perpisahan, kantor itu dipenuhi aroma bakso malang yang gugup dan senyum yang dilatih setengah hati. 

Waktu seolah melambat di antara gelas-gelas teh yang mendingin, sementara kata-kata sambutan melayang di udara seperti burung yang ragu untuk hinggap. 

Pegawai yang akan pergi berdiri dengan senyum yang telah melewati banyak musim, matanya menyimpan cahaya lembut dari segala yang tak sempat diucapkan. 

Yang datang pun tampak seperti bayangan yang baru saja keluar dari mimpi, membawa harapan yang masih segar dan sedikit ketakutan yang disembunyikan di balik kostum yang disetrika terlalu rapi. 

Di sudut ruangan, jam berdetak dengan suara yang nyaris manusiawi, seperti tahu bahwa setiap pertemuan hanyalah cara halus waktu untuk mengingatkan kita akan kepergian yang sudah ditulis sejak awal."

Iqlima, akan berangkat menjalani tugas belajar ke PKN STAN di Bintaro, dan seisi kantor terasa kehilangan warna yang dulu berasal darinya. 

Aku sempat bercanda, “wah, double degree ma, D3 UT dan D3 STAN,” dan tawa kami menggema sebentar di antara meja-meja kerja yang tiba-tiba tampak lebih diam dari biasanya. 

Ia selalu punya cara membuat ruangan terasa hidup, seperti matahari kecil yang menolak padam bahkan di hari paling muram dan melelahkan.

Keceriaannya menular, dan gerak-geriknya yang kadang sedikit pecicilan menjadi ritme rahasia yang membuat waktu di kantor berjalan lebih ringan. 

Kini ketika ia pergi menjemput ilmu di kota lain, seakan ada semacam jeda di udara, sunyi yang menyedihkan, cukup untuk membuat kami sadar bahwa setiap tawa yang tulus meninggalkan gema yang lama sekali hilangnya, sungguh lama sekali, atau barangkali tidak akan hilang.

Aku masih ingat hari ketika Iqlima datang, pada awal tahun yang lembab dan berangin, membawa semangat dari Purbalingga seolah membungkusnya dalam ceria yang juga berisi harapan dan tawa. 

Dari awal aku tahu, ada sesuatu yang hangat memancar darinya, cara bicaranya yang lugas namun penuh rasa, senyum lebarnya yang muncul setiap kali ia mendengarkan orang lain, seakan dunia ini terlalu menarik untuk tidak disimak. 

Ia datang seperti hujan pertama setelah musim kemarau panjang: membawa kesegaran, sekaligus sedikit kekacauan yang menyenangkan. 

Dalam waktu singkat, ide-idenya bertebaran seperti benih yang jatuh di tanah subur, menumbuhkan percakapan dan tawa di sudut-sudut kantor yang dulu kering dari kejutan. 

Aku menulis beberapa cerita tentangnya, seolah pena ini punya kehendaknya sendiri setiap kali Iqlima tertawa atau menunduk untuk berpikir dengan wajah seriusnya itu. 

Kedatangannya dulu bukan sekadar mutasi pegawai; ia adalah bab baru yang ditulis oleh waktu untuk mengingatkan kami bahwa setiap orang yang hadir membawa sedikit sihir, dan setelahnya, setalah ia pergi, kantor tak akan pernah kembali sama. 

Aku membaca buku yang juga ia baca, Kelana, ada hal menarik yang ku temui. Manusia, barangkali, memang pandai menipu diri, meminta kebahagiaan abadi seolah waktu bisa dibujuk berhenti. 

Padahal hidup selalu mengajarkan bahwa tak ada yang kekal selain perubahan: waktu menjadi kenangan, tawa menjadi gema, dan manusia menjadi cerita. 

Mungkin kali ini bukan saatnya merayakan suka cita, melainkan belajar mendengarkan kehidupan dalam senyapnya, karena di sanalah, di antara kehilangan dan penemuan, manusia benar-benar tumbuh.

Aku ingat ada lagi buku yang pernah sama - sama kami baca, Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, bahwa hidup tak selalu menuntut kita berpikir positif, hanya meminta kita menerima bahwa tidak semua hari ramah, rencana lancar, atau kebaikan terbalas. 

Dalam luka, hidup justru berbisik paling jujur: semua itu bagian dari denyut yang sama dengan cerita dan bahagia. Maka, seperti bumi menerima hujan tanpa bertanya, aku pun belajar mengangguk pada kenyataan, karena di sanalah ketenangan sejati berdiam.

Iqlima berkata dengan senyum yang setengah sendu, bahwa ia telah sembilan bulan sepuluh hari di kantor ini, waktu yang persis seperti masa seorang ibu mengandung. 

Ia merasa seolah selama itu dirinya dikandung oleh tempat ini: diberi bentuk oleh tawa, dibesarkan oleh rutinitas, dan diselimuti oleh kehangatan orang-orang yang kini menjadi keluarganya. 

Dan kini, ketika tiba saatnya ia berangkat untuk tugas belajar, ia menyebutnya sebagai kelahiran, sebuah perpisahan yang bukan akhir, tapi awal dari kehidupan yang baru. 

Di matanya, kantor ini bukan ruang kerja, tapi rahim yang melindungi, menyiapkan, dan akhirnya merelakan ia pergi ke dunia yang lebih luas. 

Dan seperti setiap kelahiran, ada sedikit air mata di sudut kebahagiaan, karena setiap awal selalu membawa jejak lembut dari tempat asalnya.

Kardus pindahan Iqlima dari Purbalingga ke Solo bahkan belum sempat dibuka katanya, seolah di dalamnya tersimpan waktu yang enggan bergerak, menunggu saat yang tepat untuk kembali bernapas.  

Pak Teguh menimpali dengan tawa pelan, bercerita bahwa di rumahnya pun masih ada kardus yang sama, kardus yang telah mengiringi bersama tahun-tahun pengabdiannya, belum pernah dibuka sejak hari pertama ia menjadi pegawai negeri. 

“Mungkin baru kubuka nanti, saat pensiun,” katanya, separuh bergurau, separuh pasrah pada ironi hidup yang lembut itu. 

Dan di antara tumpukan kardus berisi buku - buku yang diam, terasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar barang-barang terlupakan, ada kenangan yang tertidur, ada masa lalu yang menunggu disentuh kembali, seakan setiap kardus adalah kapsul kecil dari kehidupan yang terus berjalan.

Lalu salah satu pegawai di kantor kami, Pak Wartana, sebentar lagi akan memasuki masa purna tugas. 

Ia dikenal sebagai pemancing yang tekun, seseorang yang menemukan ketenangan di antara gelombang laut, menunggu dengan sabar hingga kailnya digigit ikan atau waktu. 

Pak Teguh, sambil tersenyum mengenang masa lalu, bercerita bahwa dulu ia pun gemar memancing, bukan di laut, melainkan di sungai-sungai kecil di kampung yang masih banyak ular lalu-lalang di tepiannya, hal yang aku membayangkan pun sudah ngeri.

Katanya, para pemancing adalah orang-orang yang optimis, sabar, dan berhati baik, sebab hanya mereka yang sanggup menatap air berjam-jam tanpa kehilangan harapan.  

Dan entah mengapa, ketika Pak Teguh berkata demikian, ruangan terasa hening, seolah kami semua sadar, hidup ini pun tak jauh berbeda dari memancing: menunggu dengan sabar, menerima dengan ikhlas, dan percaya bahwa setiap arus, betapapun tenangnya, selalu mengarah ke laut yang lebih luas.

Pada akhirnya, kata Pak Teguh dengan senyum yang penuh ketenangan, dapat atau tidak dapat ikan bukanlah perkara utama, sebab itu sudah ada yang mengatur sejak air pertama kali mengalir ke dunia. 

Yang terpenting adalah berangkat memancing: merasakan angin, menatap permukaan air yang berkilau seperti cermin nasib, dan membiarkan waktu berjalan tanpa tergesa.  

Sebab dalam setiap perjalanan menuju tepi sungai atau dermaga, selalu ada sesuatu yang tertangkap, bukan di ujung kail, melainkan di dalam diri: kesabaran, ketulusan, dan kesadaran bahwa hidup, seperti memancing, lebih indah ketika dijalani tanpa terlalu banyak menuntut hasil.

Pak Wartana akhirnya menuntaskan tugasnya dengan tenang, seperti pemancing yang kembali ke pantai setelah menunaikan janji pada laut. Tak ada riuh atau perayaan besar, hanya rasa syukur yang hangat dan senyum yang tumbuh dari ketulusan. 

Melihat itu, Pak Teguh berujar pelan, berharap agar setiap pegawai pun kelak dapat menyelesaikan perjalanan mereka dengan cara yang sama, dengan sabar, jujur, dan penuh dedikasi. 

Sebab, katanya, bekerja bukan hanya tentang apa yang diselesaikan, tetapi tentang bagaimana seseorang menjaga langkahnya agar tetap tulus sampai akhir; seperti aliran sungai yang setia menuju laut.

Ada juga Widi, yang kini harus berangkat untuk tugas belajar juga, meninggalkan ruang-ruang kantor yang masih menyimpan jejak tawanya di udara. 

Dua orang yang paling akrab dengannya tampak menahan kehilangan dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar menyayangi, menyembunyikannya di balik senyum dan kalimat ringan, seolah perpisahan hanyalah urusan administratif belaka. 

Namun di sela-sela percakapan kecil, ada hening yang tak bisa disembunyikan, semacam ruang kosong yang baru saja tercipta di antara meja-meja kerja dan rutinitas.

Widi, dengan caranya yang sederhana, telah menjadi bagian dari denyut tempat itu, dan kini kepergiannya membuat waktu berjalan sedikit lebih lambat. 

Seolah kantor sedang belajar beradaptasi dengan sunyi yang baru, dan dua sahabatnya sedang belajar bagaimana melanjutkan hari tanpa suara yang dulu membuat segalanya terasa lebih hangat.

Dalam setiap langkah menjauh, ada gema kenangan yang menolak padam, seperti lilin kecil yang bertahan di tengah angin laut. 

Manusia baru benar-benar mengerti arti kebersamaan justru ketika waktu mulai melucuti kebiasaan, ketika suara yang dulu akrab berubah menjadi hening yang suci.

Perpisahan mengajari kita bahwa hati bukan tempat untuk memiliki, melainkan untuk menampung segala yang pernah kita cintai tanpa memaksa mereka tinggal. 

Ia menunjukkan, dengan kesabaran yang pahit namun indah, bahwa hidup adalah serangkaian perjumpaan dan kehilangan yang saling menulis satu sama lain di halaman waktu.

Dan pada akhirnya, dari segala air mata yang tumpah, tumbuhlah kebijaksanaan: bahwa tidak ada cinta yang benar-benar hilang, ia hanya berpindah bentuk, menjadi angin, menjadi aroma hujan di Manahan.