Matahari sore itu tenggelam dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh sesuatu yang tahu dirinya akan selalu kembali. Langit seperti kanvas tua yang dicat ulang oleh tangan Tuhan, warna jingga, merah muda, dan biru lembut berbaur tanpa batas, seperti kenangan yang enggan pergi. Aku berdiri memandangi cakrawala yang perlahan menelan matahari, dan dalam diam itu, rasanya dunia berhenti sejenak. Tidak ada suara, hanya desir angin yang membawa aroma laut dan waktu yang terasa lembut di kulit.
Di bawah langit yang separuh terbakar cahaya itu, aku berpikir tentang betapa sederhananya kebahagiaan. Kadang, ia tidak datang dalam bentuk tawa keras atau tepuk tangan panjang, kadang, ia hanya hadir dalam momen kecil seperti ini: melihat langit berwarna, merasakan detak jantung sendiri, dan menyadari bahwa aku masih di sini, masih diberi kesempatan untuk menatap hari yang berakhir dengan indah. Ada rasa haru yang halus, seperti ingin menangis tapi tak tahu alasannya.
Ketika matahari akhirnya benar-benar hilang di balik batas laut, aku tersenyum kecil. Ada janji yang tidak diucapkan tapi pasti, bahwa esok pagi, ia akan kembali, membawa harapan baru. Begitulah hidup, pikirku, kita tenggelam, kita gelap, tapi selalu ada cahaya yang menunggu untuk menjemput. Dan di bawah langit yang mulai ungu itu, aku merasa damai, seolah seluruh semesta sedang berkata pelan, “kamu baik-baik saja.”