Malam itu jalanan panjang antara Jakarta dan Solo terasa seperti sungai waktu yang mengalir pelan. Lampu kota berganti jadi gemintang di jendela, sementara suara mesin bus berdengung lembut seperti lagu nina bobo yang diulang tanpa henti. Di kursi sebelahku, Iliana sudah terbungkus selimut bergambar segitiga-segitiga kecil, matanya tinggal setengah terbuka, tapi masih sempat tersenyum sebelum akhirnya tenggelam dalam lelap. Aku menatapnya lama, merasa setiap napas kecilnya membawa kedamaian yang tak pernah kutemukan di mana pun.
Bus melaju membelah malam, menembus jarak dan kenangan. Di luar sana, hujan tipis mulai turun, mengetuk jendela seperti ingin ikut bercerita. Aku teringat perjalanan masa lalu, ketika aku sendiri yang duduk di kursi sempit, menatap gelap dengan dada penuh cita-cita. Kini, di kursi yang lebih empuk, dengan anak kecil yang terlelap di pelukanku, aku menyadari bahwa perjalanan ini bukan lagi tentang tujuan, tapi tentang kebersamaan. Tentang betapa bahagianya bisa berbagi pemandangan malam dengan seseorang yang memanggilku “Bapak.”
Sesekali Iliana bergerak, menyembunyikan wajahnya di balik selimut, lalu tersenyum dalam tidur seperti sedang bermimpi indah. Aku tahu, mungkin ia sedang berpetualang di dunia kecilnya yang penuh warna. Aku tak ingin membangunkannya, karena di wajahnya yang damai aku melihat masa depan yang lembut, hangat, dan penuh harapan. Malam itu, di antara cahaya lampu jalan yang berlari mundur, aku merasa dunia menjadi sesederhana satu hal: menjaga agar mimpi kecil di kursi sebelahku tetap nyaman, sampai pagi menjemput kami di kota yang jauh.